Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2017

Cerita (Manusia/ Gajah) kepada (Gajah/Manusia)

sumber: lena.multiper.com Pagi ini aku bertemu dengan seekor gajah terbang, dia mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar dengan gadingnya yang panjang. Awalnya sempat heran juga, melihat mahkluk berwarna abu-abu sebuncit itu melayang-layang, tapi mengingat kalau aku berada di bumi -tempat berbagai hal aneh terjadi- rasanya itu menjadi tidak terlalu mengherankan. Biar aku beritahu sedikit tentang bumi, khususnya wilayah tempat aku tinggal. Dua hari yang lalu warga heboh menemukan seorang bayi yang masih terlilit ari-ari nyusngsep di dalam selokan. Mati. Pasti dibuang orang tuanya. Tidak heran kalau kadang manusia bisa secara total hilang kemanusiaannya, padahal kata Keci, temanku yang seekor kecoa, melihat anaknya terinjak manusia atau megap-megap disemprot anti serangga, bisa bikin dia sedih sampai kehilangan nafsu makan berhari-hari. Pernah juga, dua blok dari rumahku, ada seorang bapak yang menghamili anak gadisnya sendiri, warga kembali heboh selama berhari-hari, tapi set

ndsgdjk#%%%GJHJH^&&jhkk^*&(*))bkLJKK&(*)()(__

sumber: topilambe.com Siapa yang masih tertipu dengan bintang? Pasti semua masih, ya? Coba tengadah malam-malam kalau langit sedang tidak mendung, ada ribuan jumlahnya, bukan, puluhan ribu, eh, malah mungkin jutaan. Indah? Tidak, merusak pemandangan malah, mirip ketombe yang berarakan merusak indahnya ‘rambut’ malam yang pekat. Tapi aku tak mau bercerita lebih jauh tentang ‘ketombe’ itu? Ada yang lebih menarik yang mau aku ceritakan, masih berhubungan dengan ‘ketombe’ juga sih . Cerita ini tentang takdir. Keren, ya. Jadi kejadian ini terjadi saat aku tidak sengaja tengadah malam-malam waktu mengangkat jemuran di balkon kontrakanku. Entah karena aku yang sudah mengantuk atau karena  memang malam itu aku ketiban ‘jatah’ untuk mendapatkan ‘pencerahan’. Tiba-tiba saja ‘ketombe-ketombe’ langit itu menyatu, menjadi besar, sebesar matahari, mungkin lebih, malam jadi terang, lalu ‘ketombe-ketombe’ itu meledak. Salah satu berkas cahayanya membentur keningku, dan sebuah

Trayek Baru

sumber: mydirtsheet.com Trayek hidupku sudah jelas selama lebih dari sepuluh tahun ini. Jam tiga pagi, sebelum ayam-ayam tetangga di kandangnya bangun, aku sudah harus mandi, bukan untuk membersihkan tubuhku yang bau keringat karena tidur di dalam kamar pengap semalaman, tapi lebih untuk menyegarkan tubuhku, terutama mataku yang setiap hari tampaknya semakin kelelahan karena hanya diberi jatah untuk tidur tidak lebih dari lima jam. Setelah mandi dan mematut diri ala kadarnya di depan cermin yang sudah mulai buram, aku pergi ke pasar yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumhaku. Bukan rumah, kurang layak sepertinya jika disebut rumah. Kata orang-orang pintar, rumah itu harus punya kamar mandi, kamar tidur, ruang tamu, dapur, nomor dan yang paling utama harus punya surat yang menerangkan kalau itu adalah rumah sehingga pemerintah bisa menagih jatahnya setiap tahun agar ‘rumah’ itu bisa tetap disebut rumah. Sedangkan tempat yang aku tinggali -memang- hampir memiliki sem

Review Tulisan “Biar Aku yang Berjuang” Karya Ciani Limaran

Satu kata yang terlintas dalam kepala saya saat selesai membaca tulisan ini,’padat’. Penulis menyajikan sebuah alur dengan sangat baik, menembak langsung ke arah konflik yang membuat pembaca seketika merasa masuk ke dalam cerita sekaligus merasa peanasaran dengan masalah yang dialami tokoh. Paragraf pembuka, “Hening malam membuat suara tubuhku yang berdebam terdengar jelas. Semoga saja ini tidak memancing orang-orang untuk keluar rumah dan menuju sumber suara. Semoga saja lelap tidur mereka hingga suara sekeras apapun tidak mampu mengusik.” Terasa cukup kuat untuk mewakili suasana awal. Pembaca tergiring pada dua kemungkinan, tokoh adalah maling atau bisa juga orang yang mencoba melarikan diri. Selanjutnya, siapa yang menyangka jika tokoh yang diceritakan adalah seorang istri yang saya rasa bekerja sampingan sebagai ‘wanita panggilan’. Kesan itu terasa dari beberapa petunjuk yang diberikan penulis seperti, ”Ibu jari kanannya menghapus warna merah menggoda yang tertempel di

Review Cerpen “Cerita Pilu Seorang Gadis yang Tinggal di Kaki Gunung” Karya Sri Wahyuni

Sebuah karya dengan awalan yang luar biasa, deskripsi ruang disajikan secara bergerak. Ini sangat kuat, karena bisa mengajak pembaca untuk ikut masuk dan merasakan suasana dalam cerita (Dan Brown dan Andrea Hirata sering sekali menggunakan metode deskripsi seperti ini). Lalu kita diajak mengenal satu persatu bagian wilayah ini, sekaligus suasana di sekitarnya. Namun, sayang sekali beberapa bagian yang diceritakan di bagian awal hanya berfungsi sebagai penghias karena pada bagian selanjutnya tidak memiliki keterkaitan dengan sama sekali. Pada bagian tengah kita akan diajak berkenalan dengan tokoh sentral dalam cerita ini, seorang gadis remaja berusia sekitar dua puluh tahun yang memiliki ‘kelainan’mendekati gila. Yang selalu berdiri di halaman rumahnya dan tersenyum pada setiap orang yang melintas. Bagian tengah ini cukup menarik karena menyajikan sebuah fenomena yang unik dan jarang ditemui dalam kebanyakan cerita. Tapi sayangnya, sekali lagi, penulis tidak mengeksekusi ba