Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Di Gang Itu

Tubuhnya sudah empat kali kejang-kejang di atas muntahannya sendiri. Matanya kadang terlihat putih di antara suara gigi yang gemeretak menahan gigil yang berasal dari dalam. “Air… “ katanya setengah bergumam. Tidak kepada siapa-siapa, karena di dalam gang dengan selokan berbau pesing ini hanya dia sendiri. Meregang nyawa. Dengan napas putus-putus dan pandangan buram dia mencoba duduk, menyandarkan tulang punggung yang terasa remuk pada tembok penuh coretan graffitti kebencian. “Air…” katanya lagi tanpa ditujukan kepada sapapun, tidak juga kepada Tuhan. Mustahil dia memohon pada sesuatu yang -dalam anggapannya- tidak pernah menciptakan dirinya. Tuhan jauh, akhirat minggat. Apakah ini akhir? Batinnya. Tangannya merogoh saku jaket lalu mengeluarkan bungkus rokok dan pemantik. Tinggal satu batang, teman terakir, tiket satu arah menuju ke sebuah wilayah baru yang tak pernah dia tahu, kematian. Asap mengepul, dadanya panas serasa mau meledak tapi terus dia paksa mengh

Dia - Hilang

source: klikmania.net Untuk kenyamanan membaca silakan ikuti cerita sebelumnya… Sinta             Pirang, tinggi, putih, cantik dan tanpa ego untuk menjadi alfa, kasta tertinggi yang tak tertulis tapi tersimpan dalam gen manusia. Itulah aku, tidak mau jadi apa-apa, hanya mau jadi Sinta yang manis, yang lebih senang duduk di kursi bagian belakang agak ke tengah dari pada duduk paling depan dan mendominasi semua pelajaran di kelas. Ada yang lebih menarik untuk dipelajari dalam kelas dibanding pelajaran; penghuni kelas itu sendiri.             Helen yang bagai manequin , mengafani dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan merek. Tidak kurang dari dua puluh tiga juta harga yang harus dia tebus untuk jadi ‘barbie’. Lensa kontak, bedak, lip gloss, gawai keluaran terbaru, tas impor, dan sepatu limited edition dari perancang terkenal. Sikap imut dan sedikit acuh bak putri yang dia contek habis-habisan dari drama seri korea melengkapi ikatan kafannya yang hampir sulit dibu

DIA - Cul de sac

sumber: kompasiana.com Untuk kenyamanan membaca silakan ikuti cerita sebelumnya…             Adegan pertama, di lobby kantor. Entah berapa banyak aku lihat topeng yang dipasang secara paksa pada wajah-wajah yang berseliweran di depanku,baik orang yang aku kenal ataupun tidak. Yang bikin miris, topeng-topeng itu nyaris terpasang secara permanen dan mereka satu sama lain saling memuji topeng-topeng itu setinggi langit sambil diam-diam mengutuki wajah-wajah asli yang perlahan ciut dan memucat di balik topeng. Dan aku, setiap saat memakai topeng terbaik yang sudah aku gunakan selama bertahun-tahun.             Adegan kedua, ruang rapat. Seperti anak-anak yang sedang main rumah-rumahan, kami belajar membagi peran walaupun sebenarnya tidak pernah sesuai. Aku yang memiliki latar belakang seni dan cenderung introvert malah ditempatkan di bagian pemasaran yang menuntut keluwesan komunikasi dan kemampuan persuasi tinggi. Hal ini berkat topeng yang sudah aku pakai selama bertahun-t

DIA?

sumber: hetanews.com Ada yang selalu menarik dengan orang ini, dia seolah-olah selalu bisa merasakan kegelisahan, membaui kekhawatiran. Dia menjawab semua pertanyaan-pertanyaan kami, secara tidak langsung membimbing sekaligus mengarahkan. Pada titik akhir dari semua persimpangan membingungkan yang kami lalui, dia menyembuhkan kami dengan cara yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya, lalu menghilang, menguap begitu saja tanpa meninggalkan satu jejak apa pun kecuali kenangan yang jika kami hubung-hubungkan dan analisa akan berujung pada satu akhir yang membingungkan atau lebih tepatnya menakutkan. Dia adalah kami, bagian dari diri kami yang memaksa muncul. Sesuatu dalam diri yang lama kami pendam, kami lupakan dan kam cekik agar mati pelan-pekan justru malah naik ke permukaan dengan cara yang unik, lalu menyembuhkan. Pada akhirmya kami semua bertanya-tanya: Apakah kami sudah gila secara bersamaan? Windu             Selalu ada perasaan tidak nyaman setiap kali aku   bang

Wejangan Si Kecoa

Pagi-pagi sekali seisi rumah sudah ribut. Kepalaku masih pusing karena tidur yang belum lengkap. Terjadi pertengkaran hebat antara Si Gajah dan Pengharum Ruangan, mereka beradu argumen tentang siapa yang paling banyak pengalaman. Si Gajah yang usianya setua bumi berargumen kalau dia sudah sering melihat beragam peradaban jatuh bangun, dilesakkan ke dalam bumi, melihat laut terbelah, bertemu orang-orang suci sepanjang zaman berkali-kali melihat hutan terbakar. Sementara Si Pengharum ruangan tidak mau kalah, dia bercerita kalau dirinya pernah berkeliling dunia bersama sampah-sampah di samudera, terjerat jaring nelayan, dikuliti tubuhnya di Swedia, jadi sparepart mobil di Jepang sampai akhirnya afkir dan jadi barang rongsokan yang kubeli di tukang loak. “Tapi kau tidak pernah sebegitu diinginkan seperti aku, kan?” kata Si Gajah dengan nada berseloroh. “Lihat gadingku ini. Harganya puluhan juta.” “Kamu pernagh tersangkut di  tepian Antartika?” tanya Si Pengharum ruangan.

Si Gajah Mengungsi

Suatu malam Si Gajah Terbang sahabatku datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa jerami dan dedaunan kering yang diikatkan ke tubuhnya yang tambun. Aku heran, tapi melihat dari mimik wajahnya membuat aku urung untuk menanyakan perihal kedatangannya. Aku melanjutkan obrolanku dengan Si Kecoa yang menceritakan tentang anak-anaknya yang tersebar di hampir seluruh Jakarta sambil ekor mataku tetap mengawasi gerak-gerik si gajah. Si Gajah mengambil posisi di sudut untuk meletakkan barang bawaannya. Aku heran juga, biasanya dia datang tidak membawa apa-apa. Saat dia mulai duduk di atas sofa di seberangku, iseng aku bertanya. “Mau pindahan?” tanyaku sambil mengangkat gelas kopi di atas meja. Si gajah diam saja. Si kecoa yang yang sedari tadi juga ikut menyaksikan tingkah Si Gajah juga mulai penasaran. “Ada apa, Kawan?“ tanyanya. Wajah si gajah terlihat sendu. Warna kulitnya yang abu-abu terlihat lebih pucat dari biasanya. “Apakah kamu membaca berita belakangan i

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata