Langsung ke konten utama

Bahagia Mati Sebagai Anjing

sumber: global-liputan6.com



Di sinilah kami dikumpulkan, dipaksa berdiri walau tulang kami serasa lolos semua setelah habis dipukuli, dicambuk, digiring berpuluh-puluh kilometer jauhnya dengan berjalan kaki, bahkan beberapa dari kami diseret paksa karena sudah tidak sanggup berjalan.

Satu menit di sini terasa seperti berhari-hari. Belas kasih adalah barang yang teramat langka. Ini adalah neraka dunia di mana manusia menjadi algojo, jadi izroil untuk manusia lainnya. Tak terhitung, hampir setiap hari kami saksikan ada saudara, kerabat, teman atau sahabat mati. Kebanyakan meregang nyawa di ujung bedil, sebagian lagi tewas dibekap lapar yang menggila, tidak sedikit juga yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri, tak sanggup menerima derita  tak berkesudahan ini.

Tak bisa dipungkiri, perang merupakan titik terbawah dari perputaran roda nurani manusia. Saling berbunuh-bunuhan seolah perkara biasa, nyawa yang harus terbang seolah menjadi tumbal ideologi yang diagung-agungkan manusia, melebihi puja-puji terhadap Tuhan. Perang bikin amnesia, bikin manusia lupa tentang hakikat manusia yang sebenarnya manusia.

Amran. Lelaki yang kini berdiri di depan barisan. Matanya cekung, tubuhnya ringkih dengan rambut yang sudah kusut masai. Beberapa kali sempat terbatuk, entah karena hawa dingin yang menusuk paru-paru ini atau karena rasa takut yang sudah memuncak sampai di ubun-ubun.

Di hadapannya ada enam orang lelaki berseragam hijau lumut, bersenjata  lengkap. Mata mereka bengis, sadis. Aku sendiri memandang mereka sudah bukan manusia, aku lebih suka menganggap mereka iblis-iblis yang menyamar jadi manusia atau jika aku sedang berbaik hati, aku akan menganggap mereka sekumpulan setan yang sedang bermain peran jadi manusia.

“Bergabunglah dengan kami. Kamu bisa  makan enak, tidur di ranjang yang empuk, minum anggur ditemani perempuan cantik,” seorang dari enam ‘iblis’ membuka suara keras-keras di hadapan Amran sambil sesekali mengedarkan matanya ke arah kami.

Amran diam, tubuhnya mulai bergetar. Warna kulitnya yang hitam tidak bisa menutupi wajahnya yang mulai semu merah, menahan amarah.

“Masih suka perempuan, Kau, heh…” tanya salah satu ‘iblis’ itu lagi.

Amran tetap diam.

Salah satu dari ‘iblis’ itu suda mulai terlihat tidak sabar.

“Anjing! Jawab kalau ditanya!” katanya sembari mencondongkan laras bedil ke pipi Amran.

Dan dijawab dengan, ‘cuiihh’ ke wajahnya oleh Amran.

Mereka semua terdiam. Keadaan mendadak hening.

Duarrr… ludah Amran dijawab lunas dengan timah panas ke leher Amran. Tubuh Amran rubuh dan kejang-kejang. Darah muncrat dari leher yang bolong, menyembur ke mana-mana menjadikan tanah di hadapan kami menjadi merah. 

Mereka cerdas luar biasa. Sampai cara membunuh yang paling efektif pun mereka paham benar. Satu tembakan di kepala efektif membunuh dalam waktu cepat, satu tembakan di perut pas untuk siksaan karena korban akan menderita selama berjam-jam sebelum mati karena menahan sakit, kehabisan darah atau keracunan pelor timah.

Tembakan di leher adalah tembakan intimidasi untuk orang yang menyaksikannya. Dan, itu sekarang tersaji di hadapan kami. Di antara kubangan darahnya sendiri, tubuh Amran kejang-kejang sambil mengerang perih sebelum akhirnya diam. Mati.

Beberapa dari kami menutup mata, tak sanggup menyaksikan proses kematian yang begitu tragis. Beberapa lainnya pasrah, mengingat kematian bagi kami sudah seperti proses antre di rumah sakit sebelum nama dipanggil.

“Anjing harus menurut pada majikan! Cam kan itu, kalian anjing-anjing!” Si algojo mengacungkan bedilnya ke langit.

Duar… satu letusan lagi terdengar. Kami semakin jeri membayangkan tangan-tangan takdir yang sebentar lagi akan berlaku terhadap kami.

“Yang masih mau hidup sekarang maju!” teriak salah satu ‘iblis’ dengan suara lantang.

Kami saling bertatap-tatapan, berusaha berbicara lewat pandangan mata dengan sesama kami. Ada ketakutan, harapan, kebimbangan yang menyatu dan dan mengental menjadi atmosfer yang menyelubungi kami. Menyegarkan sekaligus menyesakkan.

Beberapa dari kami maju dengan wajah tertunduk, malu menatap mata dari kami yang masih memilih tetap bertahan. Keadaan hening. Si algojo menatap kami yang diam dengan mata paling bengis sepanjang pertemuan kami dengannya. Tatapan yang sangat sulit dijelaskan artinya. Ada kebencian yang mendalam, jijik sekaligus kasihan.

“Baiklah, baiklah,” katanya, kali ini dengan nada yang sedikit dipelankan.

“Kalian memang anjing-anjing yang baik, anjing yang setia, kukuh pada prinsip, tapi selayaknya  anjing jalanan yang makan dari mengais-ngais sisa sampah dari jalanan, maka kalianpun harus mati dengan cara seperti anjing jalalan mati.”

Kami tak paham maksudnya, sampai tiba-tiba saja kaki dan tangan kami diikat dengan kencang satu dengan yang lainnya, dan sebuah panser masuk ke lapangan, melindas kami tanpa ampun. Kami tak bisa kabur, kaki kami terikat erat.

“Takdir anjing-anjing jalanan adalah mati terlindas,” katanya pelan tapi dengan suara yang masih bisa aku dengar di antara gemeletak tulang yang terlindas roda panser. Lalu dengan santai dia pergi.

Di sekelilingku sekarang hanya ada suara teriakan, jerit kesakitan dan tulang-tulang bergeletak. Aku pasrah, tubuhku terseret-seret sebelum akhirnya roda panser yang besar itu melindas kepalaku.

Suara letusan dari tulang tengkorak yang remuk memunculkan suara baru. Bukan lagi teriakan putus asa dan jerit tangis, tapi lantunan nyanyian dan doa-doa.

Keindahannya tak bisa aku gambarkan. Indah, indah sekali.

Seisi ruangan disaput cahaya putih yang benderang. Aku melihat Amran, berdiri, putih, bersih, telanjang.

Dia tersenyum padaku, “Selamat datang saudara,” katanya.

Jujur, ‘anjing’ ini mati dengan kesatria, meregang nyawa masih tetap dengan keyakinan kukuh di dada. ‘Anjing’ ini tidak mati sia-sia.

Komentar

  1. Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. santai santai, ini kan cuma fiksi

      Hapus
  2. Uncle, sampai sesak bacanya. Kebayang kalau ada di situ T_T

    BalasHapus
  3. Kueeereen uncle... Aku terpana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yoi dong😎😎😎, makasih ya udah mampir

      Hapus
  4. Pengen bisa bikin yang beginian

    BalasHapus
    Balasan
    1. bukannya udah pernah saya ajarin ya😁😁😁

      Hapus
  5. Nah ini tulisan yang berkelas hihi

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Padat makna. Setiap baca ulang selalu ketemu lapisan lebih dalam dengan rasa berbeda.
    Nyaris tak percaya ketika saya akhirnya berkesimpulan bahwa :
    Akhirnya 'anjing' sama saja dengan kyai, pendeta, rahib, biksu, dan para pemuka agama lainnya. Sebaik atau seburuk, semulia atau senista apapun semua sebutan-sebutan gelar. Semua itu hanyalah sebuah baju bikinan manusia. Mati akan menanggalkannya. Tiga jempol buat uncleik.

    BalasHapus
  8. Ngeri bangey ketika harus membayangkan letusan tengkorak yang terlindas panser. Oh my Lord!!!

    BalasHapus
  9. Emang uncle banget ini mah...keren uncle...👍👍👍

    BalasHapus
  10. Keren... tapi kok bikin enek ya.. hiks

    BalasHapus
  11. nice artikel gan, lanjutkan . kunjungan dari : www.softkini.blogspot.co.id

    BalasHapus
  12. Aku bacanya hampir nangis. Keren uncle.

    BalasHapus
  13. Cuma bisa bilang WOW KEREN!

    Pengen banget bisa nulis kayak gini.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini