Langsung ke konten utama

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com


“Ini apa?”

 “Pisang.”

“Seperti apa teksturnya?”

“Lembut, seperti mentega?”

“Lalu seperti apa rasanya?”

“Manis, seperti gula.”

“Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?”


“Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.”

Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan.

Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat.

Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak.

Bagi kami -orang-orang yang termarginalkan secara struktur- filsafat hanyalah omong kosong. Hasil karya orang-orang malas yang tidak ingin mengotori baju mereka dengan lumpur, apalagi sampai menceburkan diri ke dalam laut. Mereka –para filsuf- asyik masyuk di atas ranjang sambil menengguk anggur lalu berkhayal tentang sebuah ilmu yang bisa merangkum semua ilmu yang ada di dunia.

Mustahil, miris. Filsafat bagi kami hanya sebatas retorika. Mencoba menyemprotkan parfum mahal ke dalam mulut untuk sekadar menutupi bau alkohol. Saat berfilsafat semua pertanyaan akan dibalas dengan pertanyaan, terjadilah bifurkasi dalam pemikiran.

Jika kita menanyakan hasil dari satu tambah satu, filsuf akan menjawab, “Dari displin ilmu mana kamu akan menjawab? Jika matematika jelas satu tambah satu sama dengan dua. Jika Ilmu sosial bisa tetap menjadi satu atau tak terhingga, di dasarkan pada asumsi jika satu perempuan di tambah satu lelaki dengan mempertimbangkan konsep perkawinan, cerai, mandul, alat kontrasepsi dan lain-lain.”

Menyedihkan. Saat kita haus, pasti yang kita inginkan hanya air, bukan pertanyaan merek air apa yang ingin kita minum.

Lebih menyedihkan lagi jika filsafat yang digadang-gadang sebagai pencapaian ilmu tertinggi manusia malah mengerdilkan hati, mengangkangi wahyu dan firman Tuhan, membelakangi matahari.

Albert Camus, seorang filsuf yang terlalu serius, seorang pencetus filsafat bunuh diri, dengan berani menggadang-gadang kalau sampai pada titik tertentu manusia sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan, maka hampir tak ada lagi tujuan yang ingin dicapai manusia dalam hidupnya, berarti ini sebuah alarm bagi manusia tersebut untuk bunuh diri.

Manusia diberikan kebebasan untuk men-shut down hidupnya, melepaskan nyawa jika dirasa tak ada lagi yang bisa dia lakukan dalam hidup.

Ada lagi Nietszhe, dengan motto paling terkenalnya God is Dead ‘Tuhan Sudah Mati’. Secara sembrono berani mengklaim jika sebenarnya Tuhan sudah mati, siapa yang membunuh? Manusia itu sendiri. Lewat apa? Lewat ritual-ritual keagamaan yang justru menuhankan manusia melebihi Tuhan sendiri.

Tuhan saat ini ada, tapi hanya termanifestasi dalam pikiran.

Kalau Tuhan sesederhana itu, lalu untuk apa nabi-nabi, para rasul dan orang suci diturunkan?

Sekali lagi, bagi kami, yang terpenting adalah memahami diri kami sendiri. Ada pesan suci Tuhan pada diri kami yang jelas-jelas terlihat tanpa harus muluk-muluk mengabungkan semua dispilin ilmu yang ada di dunia.

Tuhan memberikan kami perut, dan itu harus di isi, makanya kami bekerja, membenamkan kaki dalam lumpur, mengayunkan gagang cangkul, melempar jala dan menyemai benih. Karena kami yakin Tuhan akan memberikan kemudahan bagi orang yang berusaha. Karena kami yakin perut yang sudah Tuhan ciptakan dan titipkan kepada kami harus dijaga sebaik mungkin, dengan memberikan makanan yang suci, makanan yang sudah dibasuh oleh keringat, darah dan air mata.

Sehingga pada saatnya nanti, ketika kami dipertemukan dengan Tuhan, maka Dia akan tersenyum sambil membelai tangan kami yang penuh kapalan karena seharian memegang gagang cangkul dan teriris tali jala. Dan, Tuhan mengurapi kaki kami yang penuh luka karena tertusuk jelatang dan tergiris karang.

Lihatlah! Tuhan tersenyum untuk hamba-hambanya yang bekerja dengan riang, tanpa mempersoalkan seberapa banyak harus berbuat curang demi mengisi sebuah kantung yang hanya titipan.

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahhahaha, filsafat iseng dari orang yang nggak paham filsafat, Mbak Lis

      Hapus
  2. Mantep uncle mendefinisikan dg sderhana msalah filsafat... Saya gx trllu paham mksd filsafat.. Prnah buat artikel tntang filsafat dlm islam malah dicecar abis sama dosen... Hehhee

    BalasHapus
    Balasan
    1. sejatinya, menurut saya, akan sangat sulit sekali membahas filsafat dalam islam, karena islam adalah agama berdasarkan pewahyuan yang jelas bertentangan dengan inti dari filsafat itu sendiri yang menuhankan pemikiran

      Hapus
  3. Balasan
    1. Terima kasih banyak sudah mampir, Pak Parto. Hanya mencoba menjawab tantangan sebisa saya aja

      Hapus
  4. Saya pernah dengar bahwa hakikat seorang sastrawan adalah memberikan suaranya untuk keberpihakan. Kalo dari definisi itu, saya berani pastikan, dari tulisan2nya, uncle ini seorang sastrawan tulen.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh, Mbak Hiday terlalu memuji, saya cuma penulis paruh waktu yang iseng belajar sembari mengumpulkan pengetahuan yang terserak di sana sini

      Hapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Mantaaap jiwa. Kelihatan banget uncle ik banyak baca

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahhahaha, iya aa, cuma itu aja cara nyari ilmu yang saya bisa. Makasih udah mampir aa

      Hapus
  7. Mantaaap jiwa. Kelihatan banget uncle ik banyak baca

    BalasHapus
  8. Keren dari lahir emang uncle 😆😆

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahhahaha, repot memang kalau udah keren kaya gini, Bang Ian😎😎😎

      Hapus
  9. Cerdas, rapi, berisi dan tentu saja sederhana untuk bisa diterima dan dicerna.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mbak Na. Cuma bisa menulis sederhana itu aja, belum sanggup yang berat-berat

      Hapus
  10. Lihatlah! Para pembacamu tersenyum riang karena paham dengan semua kelugasan dan kesederhanaan pemaparanmu, seorang yang berilmu dan rendah hati, in syaa Allah.
    Barakallah Mas Ik .. :) 🌧🍊🌧🍊🌧🍊

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahhahaha, aseeekk... terima kasih udah mampir, Intan

      Hapus
    2. Kembali kasih Mas Ik ^ ~^) 🌧🍊🌧🍊🌧🍊

      Hapus
  11. Hahahah... Aku mau komen apa jal? #gamudeng

    BalasHapus
  12. Ehh...uncleik. itu yg dilempar pisang setandan udah siuman belum sekarang? Kasian dia tuh...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahhahaha, santai aja itu bukan si Gonang yang terkenal lewat filsafat beruk nya

      Hapus
  13. Wow....acung jempol. Saya malah belum nulis tantangan ini.

    BalasHapus
  14. kerennnn suhu, btw ... filsafat itu adakah yang bener? eaaa ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. waduh, saya nggak punya kapasitas untuk itu Mbak Nuha

      Hapus
  15. Luar biasa gaya bahasanya sehingga mudah ditelan...gk bikin sereten

    BalasHapus
  16. Pemaparan filsafat yg keren uncle

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini