Seketika
Tuhan murka, lalu memutasi malaikat Mikail jauh dari tanah kami. Berbulan-bulan
tanpa hujan. Kami dijerang panas yang luar biasa. Tanah mulai retak-retak,
sumber air mengering. Tanaman berhenti tumbuh, merana terus mati. Ternak kami
satu persatu mulai mengurus, lalu jadi santapan kami karena tak ada lagi yang
bisa kami makan.
Setiap
dini hari, menjelang subuh. Kami selalu terbangun dengan perasaan risau,
khawatir mendapati anak atau kerabat kami yang tiba-tiba mati dalam tidurnya,
tercekik perutnya karena lapar atau tersedak karena dehidrasi akut yang
meradang di tenggorokan.
Di
antara tenda-tenda kanvas di tempat pengungsian, tak ada lagi yang bisa kami
lakukan selain duduk-duduk sambil menghitung jatah umur. Menangis pada tahap
ini sudah hampir pasti tak lagi berguna, hanya membuang-buang tenaga.
Penyesalan? Tak ada sedikit pun yang kami sesalkan kecuali terbayang bagaimana
nasib anak-anak kami kelak. Membayangkan bayi-bayi kurus kelaparan karena tak
ada setetes pun air susu tersisa dari payudara ibu mereka. Itu saja sudah
membuat kami merasa mati dan ditinggalkan.
Adzan
subuh yang parau lamat-lamat menggema, derita yang kami rasakan semakin
menjadi- jadi, perasaan perih dan tersayat, seperti ribuan jarum yang
ditusukkan pada perut dan tenggorokan, terkenang dalam hitungan bulan akan
memasuki ramadhan.
Oh,
Tuhan… Tuhan… masih jauh.
Oh,
Tuhan… Tuhan… kami haus.
Oh,
Tuhan… Tuhan kami lapar.
Haus belas kasih dan lapar akan cinta.
Cinta-Mu semesta.
😢😢😢😢
BalasHapus😩😩😩😩
Hapus😢😢😢😢
BalasHapusSedih
BalasHapusngopi dulu, Bang Ian
HapusKadang-kadang aku suka malu sendiri kalau abis baca tulisan-tulisan Mas Ik, apalagi yang bertemakan kemanusiaan ... suka ngebandingin dengan tulisanku yang masih bersifat personal ... rasanya jadi kesentil. Iri dengan kepekaan Mas Ik dengan lingkungan. Iri dengan dengan daya nalar Mas Ik. Iri dengan kedewasaan Mas Ik. Iri dengan kecerdasan Mas Ik. Iri dengan caramu menuangkan ide. Iri dengan sudut pandangmu. Iri dengan gaya menulis Mas Ik. Iri dengan setiap kebaikan yang bisa kutangkap dari segala sudut penulisan Mas Ik. Iri dengan Mas Ik yang bisa menyenangi menulis tulisan yang bermanfaat untuk orang banyak, tetapi tetap bernilai sastra ... Tulisan-tulisan Mas Ik bukan hanya bersahaja dan membumi, tapi juga selalu menyentuh dengan elegan, menurutku ...
BalasHapus#AntaraKomentarDanCurhat
Kapan, saya bisa menulis seperti Uncle Ik?
BalasHapus