Langsung ke konten utama

Remance Dari Somalia

Seketika Tuhan murka, lalu memutasi malaikat Mikail jauh dari tanah kami. Berbulan-bulan tanpa hujan. Kami dijerang panas yang luar biasa. Tanah mulai retak-retak, sumber air mengering. Tanaman berhenti tumbuh, merana terus mati. Ternak kami satu persatu mulai mengurus, lalu jadi santapan kami karena tak ada lagi yang bisa kami makan.

Setiap dini hari, menjelang subuh. Kami selalu terbangun dengan perasaan risau, khawatir mendapati anak atau kerabat kami yang tiba-tiba mati dalam tidurnya, tercekik perutnya karena lapar atau tersedak karena dehidrasi akut yang meradang di tenggorokan.

Di antara tenda-tenda kanvas di tempat pengungsian, tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain duduk-duduk sambil menghitung jatah umur. Menangis pada tahap ini sudah hampir pasti tak lagi berguna, hanya membuang-buang tenaga. Penyesalan? Tak ada sedikit pun yang kami sesalkan kecuali terbayang bagaimana nasib anak-anak kami kelak. Membayangkan bayi-bayi kurus kelaparan karena tak ada setetes pun air susu tersisa dari payudara ibu mereka. Itu saja sudah membuat kami merasa mati dan ditinggalkan.

Adzan subuh yang parau lamat-lamat menggema, derita yang kami rasakan semakin menjadi- jadi, perasaan perih dan tersayat, seperti ribuan jarum yang ditusukkan pada perut dan tenggorokan, terkenang dalam hitungan bulan akan memasuki ramadhan.

Oh, Tuhan… Tuhan… masih jauh.

Oh, Tuhan… Tuhan… kami haus.

Oh, Tuhan… Tuhan kami lapar.

Haus belas kasih dan lapar akan cinta.

Cinta-Mu semesta.



Komentar

  1. Kadang-kadang aku suka malu sendiri kalau abis baca tulisan-tulisan Mas Ik, apalagi yang bertemakan kemanusiaan ... suka ngebandingin dengan tulisanku yang masih bersifat personal ... rasanya jadi kesentil. Iri dengan kepekaan Mas Ik dengan lingkungan. Iri dengan dengan daya nalar Mas Ik. Iri dengan kedewasaan Mas Ik. Iri dengan kecerdasan Mas Ik. Iri dengan caramu menuangkan ide. Iri dengan sudut pandangmu. Iri dengan gaya menulis Mas Ik. Iri dengan setiap kebaikan yang bisa kutangkap dari segala sudut penulisan Mas Ik. Iri dengan Mas Ik yang bisa menyenangi menulis tulisan yang bermanfaat untuk orang banyak, tetapi tetap bernilai sastra ... Tulisan-tulisan Mas Ik bukan hanya bersahaja dan membumi, tapi juga selalu menyentuh dengan elegan, menurutku ...

    #AntaraKomentarDanCurhat

    BalasHapus
  2. Kapan, saya bisa menulis seperti Uncle Ik?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini