Langsung ke konten utama

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan."

Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu.

"Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini.

Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa.

Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling.

Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata.

Aku butuh bahasa itu sekarang.

Sebuah tepukan di bahu membangunkanku dari mimpi duduk, tapi tak kutemu wajahmu di sana. Di hadapanku hanya ada keruwetan Jakarta yang saling silang berkejaran.

Sebentar lagi maghrib, akan kuadukan rindu yang kejam ini pada Tuhan.

Komentar

  1. Duh... rindu memang kejam... 😳😳

    BalasHapus
  2. Yeay ... akhirnya ngeblog lagi!
    πŸ˜ƒπŸ˜ƒ

    BalasHapus
  3. masuknya prosa liris ya, atau apa?

    tulisannya maknyus...

    BalasHapus
  4. Sekarang sdh gk menghayal lagi

    BalasHapus
  5. Suka tulisan begini. Diksinyaa mantap angkel πŸ˜„

    BalasHapus
  6. Rindu...
    Memang tidak pernah tuntas.

    Suka gaya tulisannya uncle ik. ^^

    BalasHapus
  7. Rindu memamg tidak pernah tuntas

    BalasHapus
  8. tiada satu pun bahasa di dunia yang lebih mudah untuk diterjemahkan
    daripada bahasa hati dan jiwa

    BalasHapus
  9. Rindu itu seperti gula dalam secangkir teh, kriuk nya kerupuk dan iklan yg muncul tiba-tiba saat film sedang seru2 nya hehehe

    BalasHapus
  10. rindu seperti kentut
    di tahan sakit
    gak ditahan malu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini