Langsung ke konten utama

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet

“Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda.

Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata.

“Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku.

Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam.

“Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini.” Aku tetap diam.

“Kalau kau mau tahu, sudah lelah aku mengukir batang nisan tanpa nama untuk ditancapkan di atas kuburan orang-orang macam kau ini.”

Sebanyak apa pun dia berusaha menerangkan, semua perkataannya terasa samar untukku. Aku merasa dia seperti bercakap-cakap tapi bukan dengan diriku. Entah di menit keberapa, saat dia sedang mencoba menyalakan rokoknya, aku baru berani membuka suara.

“Apakah dia datang?” tanyaku tiba-tiba.

Dia melirik ke arahku, keningnnya sedikit berkerut. Lalu dia semburkan gumpalan asap kelabu itu ke udara. Matanya memerah dan bibirnya mulai mengerucut.

“Apa kamu tahu, hah?! Hampir selusin orang sepertimu setiap minggu aku kuburkan mayatnya. Sampai lelah aku membuat batang-batang nisan tanpa nama untuk kutancapkan di atas makam orang-orang sepertimu. Apa kau tahu, hah?” Semburnya dengan nada penuh emosi.

“Aku berbaik hati selama ini karena ingin melihat kalian pergi dengan layak. Kutengok, sejauh ini cuma kau saja yang berani datang bertamu ke sini. Mau apa kau sebenarnya?” tatapannya mendadak penuh selidik.

“Apa dia datang?” tanyaku lagi, masih dengan nada yang sama, datar, tanpa penekanan.

Dia mengusap wajahnya dengan telapak tangan lalu menyisir rambutnya dengan sela-sela jari.

“Baiklah, sebelum kau pergi dan mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu, sebelum nanti kau dibakar di neraka sampai gosong. Kau harus tahu satu hal. Dia datang.” Katanya dengan nada setengah memaki.

Tiba-tiba senyumku terbit.

“Sekarang pergilah kau ke kamar. Tubuhmu menunggu di sana. Jangan ulangi lagi permainan gila ini, Juliet. Sekarang bangunlah! Lelaki yang kau tunggu-tunggu sudah ada di depan altar.”

Komentar

  1. Horor, tapi bingung. Belum nutut aku.

    Tapi keren.

    BalasHapus
  2. it's really plot twist, unpredictable :)

    BalasHapus
  3. Keren :)
    Kak, ada typo di paragraf ke2 kalimat terakhir..
    Di kalimat "Memandangku 'tepat' di mata."

    BalasHapus
  4. Bagus tulisannya kak.. semangat selalu yaaa...

    BalasHapus
  5. wah .... imajinasi sekali ... keren dech

    BalasHapus
  6. Waduh, ini sepertinya ceritanya mati suri ya kak? hehe, keren

    BalasHapus
  7. Aku berkali kali membacanya dan makin suka ceritanya. Keren.

    BalasHapus
  8. whaa, bisa ya bikin cerpen kaya gini.. Singkat, tapi ceritanya dapet :)

    BalasHapus
  9. Aku paling suka sama tulosan yang kek gini loh ... Pengen bisa nulis kek gini ... .😭😭😭 keren banget sih kak 👍👍👍

    BalasHapus
  10. Masya Allah tulisan nya inspiring 🥰

    BalasHapus
  11. Cerita yang berplot twist, bikin surprise 👍🏼

    BalasHapus
  12. Ceritanya ini julietnya gak jadi mati setelah minum racun?

    BalasHapus
  13. wahhh Romeo and Juliet ini yaaa ...
    Sayang pas Juliet bangun, Romeo nya bunuh diri

    BalasHapus
  14. Wah keren kakak, gak mudah ke tebak endingnya...

    BalasHapus
  15. Tidak tertebak endingnya, kereeen

    BalasHapus
  16. Keren banget, awalnya gak ngeh, pas ending tiba-tiba reaksiku ''Eh? Oh!'' mantap, kak! :D

    BalasHapus
  17. Bagus ceritanya, ending yang mengejutkan

    BalasHapus
  18. Kreatif ide ceritabya... Tepuk tangan.. Aku suka

    BalasHapus
  19. Nggak kepikiran sama sekali tentang endingnya. Sungguh nggak terduga. Ceritnya bagus kak ... Menghibur sekali

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata