Rasanya ingin kuukur dengan jengkal jarak batas gurun ini, samudera kemerahan yang setiap petang selalu memanggil-manggil, seperti seorang kekasih yang merindu pulang. Aku tahu, di ujung sana, pada bias-bias fatamorgana di kaki cakrawala, wajah dan dukamu terpahat abadi, sebagai pengingat saat Rimbaud pergi menyepi ke tepi sahara.
Andai saja cinta itu punya matra, tak perlulah kusut masai tinta tertumpah di atas kertas. Seumpama asmara dapat dirasa bentuknya, maka segala puisi di dunia akan serta merta terbakar, hilang isi, lupa makna.
Pada ujung batas yang tak kutahu antara alpa dan jaga, kamu berdiri di sana, berselendang biru samudera. Walaupun gelap kala itu, aku tahu jelas dari nyanyimu. Lagu yang selalu kamu nyanyikan setiap kali para kelasi pulang.
Dan kini aku di sini, di atas geladak, duduk-duduk dengan para kelasi mabuk. Kapal kami hampir hancur dilanda badai semalaman. Layar yang robek lalu kami rajut dengan harapan. Tiang yang patah kami ikat kuat-kuat dengan impian. Ada kamu di sana. Ada kamu di sana. Kami percaya itu.
Kamu adalah tanah, tempat kami yang terusir selalu merasa di terima kembali. Kamu adalah samudera, tempat menyucikan segala serapah yang sempat membuncah. Kamu adalah keheningan yang selalu kami rindukan. Kala gemuruh kehidupan riuh rendah dan bikin perih pendengaran, selalu berusaha kami dengar suara nyanyimu yang syahdu.
Kamu purba, kami tahu. Rambut putihmu mulai gugur satu-satu, lalu kami pungut dan masukkan ke dalam saku. Garis kerut pada wajahmu adalah relief yang bercerita tentang manis getir kehidupan.
Waktunya telah datang, Tuhan yang maha sayang menjemput pulang. Kami seharian duduk-duduk di teras mencoba mengelabui maut, tapi sia-sia. Biarlah, pergimu adalah penanda bahwa kasih kami tidak pernah cukup untuk memeluk kasihmu yang bagai buih di laut.
Selepas ini kami akan bercerita kelak kepada anak cucu tentang seseorang yang naik ke langit dan menjadi debu diantara bintang-bintang sehingga saat kami tengadah tengah malam, itu adalah sebentuk ziarah.
Komentar
Posting Komentar