Langsung ke konten utama

ziarah

 

Rasanya ingin kuukur dengan jengkal jarak batas gurun ini, samudera kemerahan yang setiap petang selalu memanggil-manggil, seperti seorang kekasih yang merindu pulang. Aku tahu, di ujung sana, pada bias-bias fatamorgana di kaki cakrawala, wajah dan dukamu terpahat abadi, sebagai pengingat saat Rimbaud pergi menyepi ke tepi sahara.

Andai saja cinta itu punya matra, tak perlulah kusut masai tinta tertumpah di atas kertas. Seumpama asmara dapat dirasa bentuknya, maka segala puisi di dunia akan serta merta terbakar, hilang isi, lupa makna.

Pada ujung batas yang tak kutahu antara alpa dan jaga, kamu berdiri di sana, berselendang biru samudera. Walaupun gelap kala itu, aku tahu jelas dari nyanyimu. Lagu yang selalu kamu nyanyikan setiap kali para kelasi pulang.

Dan kini aku di sini, di atas geladak, duduk-duduk dengan para kelasi mabuk. Kapal kami hampir hancur dilanda badai semalaman. Layar yang robek lalu kami rajut dengan harapan. Tiang yang patah kami ikat kuat-kuat dengan impian. Ada kamu di sana. Ada kamu di sana. Kami percaya itu.

Kamu adalah tanah, tempat kami yang terusir selalu merasa di terima kembali. Kamu adalah samudera, tempat menyucikan segala serapah yang sempat membuncah. Kamu adalah keheningan yang selalu kami rindukan. Kala gemuruh kehidupan riuh rendah dan bikin perih pendengaran, selalu berusaha kami dengar suara nyanyimu yang syahdu.

Kamu purba, kami tahu. Rambut putihmu mulai gugur satu-satu, lalu kami pungut dan masukkan ke dalam saku. Garis kerut pada wajahmu adalah relief yang bercerita tentang manis getir kehidupan.

Waktunya telah datang, Tuhan yang maha sayang menjemput pulang. Kami seharian duduk-duduk di teras mencoba mengelabui maut, tapi sia-sia. Biarlah, pergimu adalah penanda bahwa kasih kami tidak pernah cukup untuk memeluk kasihmu yang bagai buih di laut.

Selepas ini kami akan bercerita kelak kepada anak cucu tentang seseorang yang naik ke langit dan menjadi debu diantara bintang-bintang sehingga saat kami tengadah tengah malam, itu adalah sebentuk ziarah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini