Langsung ke konten utama

Pesan Dalam Botol

Kuhitung garis-garis yang kukerat pada batang pohon kelapa ada enam puluh sembilan. Berarti sudah enam puluh sembilan hari aku terdampar di pulau ini. Dengan hanya memakan daging kelapa, kerang, ikan dan sesekali menggasak akar-akaran ternyata aku  masih bisa hidup. Dan, yang mengherankan aku malah senang terdampar di pulau ini.

Ada hening yang seumur hidup aku dambakan, hanya ada debur ombak dan nyanyian angin. Di Jakarta, hari-hariku selalu sibuk. Bising suara kendaraan, klakson, sumpah serapah, suara tuts keyboard yang ditekan, derit mesin fax, teriakan bos sampai suara anak kecil yang menangis. D isini tenang dan damai. Dan yang paling menyenangkan adalah begitu banyak botol-otol kaca yang singgah ke pulau ini. hanya botol kaca, tidak dengan sampah-sampah yang lain, seolah-olah pulau ini punya kemampuan untuk menyesap semua botol kaca yang terapung-apung di lautan.

Dalam setiap botol kaca selalu ada satu atau dua pesan yang dimasukkan. Itulah hiburanku sehari-hari. Aku tidak rindu rumah, aku tidak akan pernah rindu teriakan bos dari ruang sebelah.

Dalam botol-botol yang kupajang rapi di samping bivak, aku menemukan watak asli manusia yang hampir tidak pernah aku jumpai dalam interaksiku sehari-hari di kota. Dalam botol mereka meluapkan kejujuran yang tidak bisa mereka ungkapkan lewat kata-kata.

Biasanya ada-ada saja pesannya. Kadang membuatku tersenyum haru, atau bahkan muak. Pernah ada sebuah pesan yang menceritakan bahwa si penulis sangat menyukai seorang gadis, tapi secara strata sosial tingkatan si gadis jauh di awang-awang. Menyadari ketidakberdayaannya, maka dia mengungkapkan perasaannya lewat tulisan lalu dimasukkan ke dalam botol lalu dia larung ke laut. Hampir dua hari sekali aku mendapatkan pesan dalam botol dari penulis itu.

Ada juga sebuah pesan yang berisi tentang betapa berat hidup seseorang. Cerai dengan istri, lalu dipecat dari pekerjaan, menjadi gelandangan dan memutuskan mengakhiri hidupnya. Pesan yang kuterima hanya satu kali dari orang itu. Barangkali dia benar-benar sudah mengakhiri hidupnya.

Di suatu sore yang berangin, ada sebuah botol yang kandas di pantai. Buru-buru aku pungut sebelum ditarik ombak kembali ke tengah. Setelah sampai di bivak, aku buka sambil bersandar pada dinding aku baca pelan-pelan isi pesannya.

Pada bagian-bagian awal ceritanya tidak terlalu menarik. Tentang anak muda yang sibuk mengejar cita-cita. Kuliah dengan rajin lalu menjadi pegawai negeri sipil. Hidupnya membosankan. Setiap pagi harus bangun pagi-pagi, bermacet-macet ke kantor, kadang-kadang jalanan Jakarta yang sumpek bikin stres. Suara klakson yang sahut-menyahut. Sumpah serapah dan lainnya. Sampai di kantor hari-harinya dihabiskan dengan menunggui pesan yang masuk lewat mesin fax, jika ada kesalahan, bos dari ruang sebelah biasanya akan meneriakkan namanya.

Semakin banyak aku membaca pesan itu, aku jadi teringat dengan sebuah cerita hidup seseorang. Aku baca lagi pesan itu sampai tuntas. Di bawah pesan panjang itu ada sebuah tulisan penutup. Namaku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini