Saat kutengok ke balik jendela, hujan sudah lebat sekali, padahal lima belas menit sebelumnya masih gerimis. Jendela berembun. Bunga-bunga jambu air yang berwarna merah muda gugur memenuhi halaman.
Layar monitor komputerku masih putih, kosong melompong, kursornya sudah hampir sejam berkedap-kedip genit merayu agar aku lekas-lekas menuliskan sesuatu. Kopi yang sudah dingin tinggal setengah. Tak ada yang bisa aku tuliskan malam ini kecuali ilusi yang terus berpendaran dalam kepala, yang terlintas batal tertuang dalam kertas.
Jari-jari mendadak lumpuh seketika jika dihadapkan antara moral dan tanggung jawab. Aku penulis, setidaknya sejak beberapa tahun lalu dengan nekat melabeli diriku dengan embel-embel penulis. Tanggung jawab seorang penulis adalah menulis. Namun, apa yang hendak aku tulis? Jika saja sore tadi bayi tetangga tidak menangis karena susu formula habis dan tetek ibunya sudah berminggu-minggu kering, pasti sudah kukarang cerita tentang liburan keluarga akhir tahun ke taman ria. Kalau saja tadi siang tidak ada sahabat yang menanyakan lowongan kerja karena sudah satu minggu kena PHK, pasti akan ada cerita tentag langit malam tahun baru yang semburat merah jingga, habis dibakar mercon dan pekaknya telinga karena disembur terompet yang gegap gempita.
Apa lagi yang mau ditulis?
Satu tahun menjadi pendusta itu untukku tidak masalah, tanpa dosa. Bercerita tentang elysium di antara gang-gang sempit yang selokannya mampet bukanlah sebuah kesalahan. Mengenang kejeniusan Mozart dan Strauss untuk menutupi tangisan bayi yang lapar, sah-sah saja, atau mengkafani diri dengan puisi Gibran dan Rumi sambil melipat koran yang beritanya berkisah tentang nestapa manusia; kebakaran hutan di barat, banjir besar di tenggara, penjagalan manusia di timur, bocah korban sodomi akhirnya mati, koruptor dapat remisi. Apa peduliku? Aku penulis, aku pendusta. Pembacaku suka cerita tentang taman bunga, bukan betapa kotornya halaman rumah karena daun yang gugur. Pembacaku suka cerita tentang pulau-pulau harapan dibanding kenyataan.
Aku, iya aku. Terus mau kalian apa?
mau saya mengamankan sejarah supaya tidak jadi wacana forever, Bang.
BalasHapusAku mau jambu merah, uncle.
BalasHapusbagus kak
BalasHapusTerus apa mau kalian? Maunya tulisan itu diterusin, nggak boleh berhenti
BalasHapusAku juga penulis, penulis status di facebook, hehe
BalasHapusAduh...bagus tulusannya, antara imajinasi dan reality
BalasHapusAku mau apa? Mau aku ceritanya jangan pendek dong kak, panjangkan lagi, hehe... Udah terlanjur masuk ke alur batiba kelar
BalasHapusHuum... Suka cerita yang manis
BalasHapus