Langsung ke konten utama

Stasiun Akhir

 

Kereta tengah malam selalu begini. Senyap. Tapi aku suka kesunyian karena ia lebih banyak berucap dari sekedar kata-kata. Pada derit pintu yang membuka-tutup secara otomatis ada sebuah cerita, tadi siang ada seorang kekasih harus berurai air mata saat lelakinya pergi. Ada lagi kursi-kursi yang mengobrol sepanjang perjalanan. Mereka mengobrolkan moral. Mereka suka sekali mmbicarakan hal itu, mereka menyebutnya moral pantat. Saat hati dan pantat dipertarungkan dalam sebuah arena panjang antara satu stasiun ke stasiun lainnya. Anak muda yang berpura-pura apatis dengan mentap layar ponsel sepanjang jalan atau lelaki gagah yang berpura-pura tidur seolah-olah kelelahan sehabis menantang seluruh dunia. Padahal biasanya banyak anak-anak dan orang tua yang lebih berhak. Rasa kemanusiaan mereka diukur pada sebatas pantat mereka sanggup menahan godaan dari kursi saja.

Stasiun demi stasiun berlalu. Ada yang turun dan ada yang naik. Semua hadir dengan karakter yang unik. Kereta tengah malam menjelma menjadi catwalk perdaban dengan ragam eksistensi yang manusia coba pertahankan. Buruh, manager, perawat, dokter, banci, copet, pelacur dan tukang obat tumplek dalam gerbong yang sama, berpasrah nasib selama beberapa menit pada satu orang yang sama; masinis.

Decit roda kereta yang bergesekan dengan rel memekakkan telinga, aku tersadar dari lamunan. Di luar gelap sejauh mata memandang. Tempat yang aku tuju masih selisih empat stasiun lagi. Tiba-tiba saja kaca jendela beruap dan dibanjiri titik-titik air. Ah, rupanya di luar sana hujan. Bagaimana nasib jemuran? Bagaimana nasib para tukang ojek di stasiun tujuan atau bagaimana kabar bapak penjaga perlintasan?

Mungkin karena sudah terlalu malam, pikiranku sering berkhayal tidak karuan. Terlalu banyak yang harus dipikirkan. Antara Jakarta dan Tangerang, di tengah-tengahnya tugas menumpuk dan tanggung jawab yang harus kugenggam. Sampai kapan?

Tiba di stasiun, aku langsung disambut hawa dingin yang menggigit. Hujan telah rada, tapi masih ada sedikit gerimis tersisa. Tubuhku gontai menyeberang perlintasan sambil menutupkan telapak tangan di atas kepala. Tiba di seberang aku celingukan. Ini bukanlah stasiun yang aku kenal. Terlalu bersih, terlalu putih.

“Oi, Anak muda.” Sapa sebuah suara dari seberang.  Dua orang lelaki yang terlalu gagah, terlalu tampan, tanpa rompi oranye datang menghampiri. Wajahnya datar saja.

Tiba di hadapanku, mereka berdiri tegak, lalu bertanya, Man rabbuka?”

Mendadak wajahku pias seketika.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini