Setelah tujuh puluh lima tahun tidak bertemu, kini akhirnya kami berjumpa kembali. Dia tidak pernah berubah, dengan tatapan matanya yang berapi-api dia meremas bahuku lembut. Aku hanya mendongak sekilas untuk memastikan bahwa itu adalah dia. Dengan tangan yang sudah keriput dan gemetaran kupegang tangannya lalu kutaruh di atas paha.
"Apakah sekarang sudah saatnya?" tanyaku dengan suara serak tapi berusaha dikuatkan.
Dia berjalan memutar, berdiri di hadapanku, menghalangi pemandangan dari jendela yang sepagian ini aku pandang.
"Tujuh puluh lima tahun," gumamku "hampir saja aku terlupa. Duduklah! Ada beberapa hal yang harus aku ceritakan dulu. Semoga kamu bersedia."
Dia duduk di kursi rotan di samping kursi goyangku. Dia tidak sabar, aku tahu pasti. Kutarik sebatang rokok dari bungkusnya, kunyalakan pemantik. Sekarang kami diselimuti asap kelabu.
"Apa yang akan kuceritakan nanti pada anak dan cucu?" Tanyaku pelan.
Dia hanya menggeleng.
"Tak ada lagi yang perlu diceritakan kepada siapa-siapa. Pergimu pun tak akan meninggalkan apa-apa. Bahkan tangisan." Jawabnya tanpa menggerakkan bibirnya.
"Tragis sekali." Tukasku setengah berseloroh. Aku terbatuk membayangkan betapa sepinya aku di penghujung hidup.
"Tapi baiklah, akan kuceritakan sesuatu padamu. Dulu, saat aku masih muda, hampir setiap hari kunantikan kamu hadir. Saat setiap degup jantung dan tarikan napas seolah tidak memiliki arti. Tapi penantianku kosong, sia-sia. Suatu ketika seorang gadis hadir dalam hidup. Kupastikan pula kamu untuk tidak pernah datang. Aku jatuh cinta waktu itu. Kalau suatu saat kamu punya kesempatan kamu harus mencobanya, walau nampaknya itu mustahil." Kataku terkekeh sambil melemparkan pandangan mengejek pada wajahnya yang tetap saja datar tanpa ekspresi.
"Haaaaahhhh...." Kutarik napas panjang sambil mengenang masa lalu yang abu-abu tapi terasa gilang gemilang. "Waktu bergulir begitu cepat, kami menikah, tapi tak pernah punya anak. Aku bersyukur, setidaknya aku tak pernah akan mewariskan ketakutan seperti yang aku rasakan sekarang. Lalu lima tahun lalu istriku bertemu denganmu yang berarti harus terpisah denganku." Kuhembuskan asap rokok kuat-kuat. Pada detik ini semua terasa hambar, semua yang aku pandang menjadi abu-abu.
"Aku sudah menunggumu lama, Kawan. Hampir lima tahun. Aku rindu padamu dan pada mendiang istriku. Baiklah sekarang sudah saatnya. Tak ada kesedihan, tak ada rasa takut, tak ada air mata yang harus tumpah."
Aku beringsut, kakiku yang semula lumpuh bisa digerakkan dengan mudah sekarang. Dia berdiri dan menggandeng tanganku berjalan menuju peron stasiun. Keretaku sudah datang.
Cantik, menunggu kematian datang menjemput
BalasHapusWiiiih kereeen..
BalasHapusmasyaallah keren
BalasHapusMasyaallah keren
BalasHapusmenginspirasi ... tetapi saat menuluskannya adakah keraguan akan terjadi pada kita ... sebenarnya ada ide cerita berdasarkan cerita teman ... tetapi ditulisnya pakai aku ... kok saya takut akhirnya mendekati kita 😯 akhirnya sering nulir ringan2 dan rasanya ambyar ... 🤗🤗🤗
BalasHapusKeren, lu jadi ingat sebuah pertunjukan teater, Ceritanya tentang suami istri yang sedang menunggu kereta
BalasHapusKereta : keranda?
BalasHapus