Langsung ke konten utama

Anemia


Yang paling mengherankan itu adalah cinta, rindu dan kita; sepasang orang asing yang ceroboh dan kemayu. Kita seperti sepasang imbisil milenium yang lahir dari tabung-tabung inkubator peradaban. Intelek, modis, humanis tapi tragis. 

Kita ceroboh, di era yang serba cepat ini masih sempat-sempatnya ditipu cinta, dikelabui rindu dan diperdaya perasaan-perasaan halus yang kita sendiri tidak bisa mendeskripsikannya lewat kata-kata.

Aku alpa, kamu lupa, tapi kita menyukai perasaan ini. Perasaan terperdaya yang menyesatkan, yang membawa kita menuju ruang-ruang baru dalam semesta. Perasaan yang membuat kita terhenyak bahwa di dunia ini ada tawa dan air mata. 

Beberapa kali rindu sempat singgah, tapi kita jengah, malu mengaku bahwa kini kita satu. Tidak ada lagi aku atau kamu. 

Tak terbilang, mungkin miliaran detik kita coba selami perasaan ini, tapi tak pernah kita temui dasarnya. Kita kalah, tipu daya cinta ternyata jauh lebih hebat dari yang kita duga, dan sekarang kita terseok-seok, seperti memainkan peran dalam sebuah drama yang skenarionya tak pernah tertuliskan. Bisikan-bisikan gaib dalam hati adalah pembimbingnya.

Tak pernah menyerah tapi kita harus mengaku kalah. Ada bagian-bagian tertentu di dunia ini yang memang hampir tak terdeskripsi. Hadir tapi tak mewujud, ada tapi tiada. Hanya orang-orang terberkati dan diundang ke pintu gerbang pemahaman yang dapat menyadari eksistensinya.

Jangan bilang itu cinta, aku belum sanggup. Cinta terlalu megah dan terlalu liar untuk kugenggam. Tapi rindu tak pernah dusta. Mengental dan berkerak, tertimbun dalam hati sampai berdaki-daki. Kita mengejang, merasakan sensasi yang hadir.

Kita kemayu, ceroboh, cinta menipu kita, rindu mengalabui hati. Kita menyerah, pasrah.

Tapi pelan-pelan mensyukuri dan merasa terberkati karena sebuah ruang yang kosong dalam hati kini terisi. Terisi penuh, sampai kita mual, samapi pusing-pusing.

Sebuah pengobatan diri yang aneh lahir, kita tidak ingin sembuh, kita teradiksi rasa mual yang tanpa henti ini, menantikan rasa itu hadir terus menerus.

Kita timang-timang, kita peluk sampai lekat menyatu.

Aku, kamu, kita, melekat, erat, lumer, lumat, dalam penyakit tanpa kesudahan ini; cinta.
   

Komentar

  1. Amazing ...

    "Kita ceroboh, di era yang serba cepat ini masih sempat-sempatnya ditipu cinta, dikelabui rindu dan diperdaya perasaan ... "

    Suka kata-kata ini uncle👏

    BalasHapus
  2. Rindunya sampai bikin pusing yaa, luar biasa penyakit tanpa kesudahan itu. 😄

    BalasHapus
  3. Balasan
    1. bingung jawabnya, udah bawaan lahir soal nya😎😎😎

      Hapus
  4. Speechless... tulisan prosa liris dari seorang uncle ik ini keren banget. Anemia dianalagikan sebagai penyakit yang mewakili perasaan rindu. Mual, pusing2,lemah, letih, lesu.... aihh uncle... bisaaa aja.

    Menikmati karya2 cerdas membuat kita menjadi lebih cerdas!

    BalasHapus
  5. hoo anemia maksud di sini begitu yaa, hihi mantap. Eh dulu saya juga sering menahan rindu sama teman lelaki, tapi jengah mau ngungkapin, masa cewek duluan, haha.. alhamdulillah untung bersambut, dia duluan yg ngungkapin rasa rindu juga.. skrg kami sdh menikah beranak 3. *Lho kok curcol..

    BalasHapus
  6. sepasang orang asing yang ceroboh dan kemayu.
    Suka kalimat itu 👆
    Eh, ngomong2 itu imagenya bukan Sebastian Bach kan? 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahhahaha, kalau diperhatikan emang mirip Sebastian Bach juga sih😁

      Hapus
  7. Hahahahaha. Tulisan apa ini ? kok keren

    BalasHapus
  8. Hahahahaha. Tulisan apa ini ? kok keren

    BalasHapus
  9. katanya sih prolis a, tapi nggak tau juga sih, asal tulis aja

    BalasHapus
  10. Aseeek. Sayang banget saya telat bacanya

    BalasHapus
  11. Aseeek. Sayang banget saya telat bacanya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini