source: penaannhab.blogspot.com |
Dua tahun ya? Atau mungkin lebih, atau mungkin
juga kurang. Entahlah, sudah apkir isi kepalaku. Jangankan mengingat kapan kita
bertemu, menebak catatan hutang kopi terakhir di warung dekat pengkolan saja
sekarang aku tidak mampu, bukan karena terlalu panjang daftarnya, tapi lebih
dikarenakan jalur darah yang tersumbat di balik batok kepalaku. Memang tidak
terasa nyeri tapi lumayan bikin keder. Bayangkan saja, sekarang aku jadi
bingung berapa jumlah batang rokok yang yang kuhisap setiap hari. Kalau dipaksa
menghitung, maka aku harus menghisap batang rokok berikutnya supaya bisa
berpikir dan itu malah jadi bikin hitungan batang rokokku tambah kacau. Tragis memang.
Waktu kita pertama kali bertemu, kamu selalu
menyarankan supaya aku sering-sering naik roller coaster. Saat naik roller
coaster dan tubuhku ditekuk hebat oleh gravitasi dan energi kinetik lalu
meluncur hebat dari ketinggian jantungku ajojing gila-gilaan. Darah tersembur
hebat, mengisi nadi terus membanjiri otak. Aku merasa hidup, jauh lebih merasa
hidup dibanding semua sensasi sepanjang aku hidup.
Dua tahun ya? Pokoknya sekitar segitu-lah
perjumpaan kita.
Aku harus menceritakan sesuatu kepadamu. Ini sebenarnya
aib, tapi karena kita akan berpisah, maka akan aku ceritakan juga.
Di kamarku yang pengap, di mana puluhan buku
yang hampir tidak pernah tuntas terbaca bertumpuk-tumpuk, di samping komputer
dan peralatan tetek bengek pembuang waktu lainnya; gitar, bass, ampli,
komputer dan alat pancing, aku sudah menjalin perjanjian dengan seekor kecoa.
Sedikit aneh memang kalau kamu mendengarnya,
seorang manusia membuat perjanjian dengan kecoa. Tapi ini salahku juga, sambil
iseng menulis, membaca buku atau film, biasanya aku membawa makanan ke dalam
kamar, ini yang mengundang kecoa datang.
Hampir setiap pagi aku dibuat jengkel dengan
mayat kecoa yang mati tertunging dalam gelas kopi atau terlentang dalam mangkuk
yang berisi kuah lontong sisa semalam.
Saking jengkelnya, maka suatu malam aku
berpura-pura tidur, lalu saat satu rombongan keluarga kecoa datang bertamasya ke
dalam kamar aku segera bangun dan mencegat mereka. Dengan sekaleng racun anti
serangga di tangan aku sukses bikin mereka kocar-kacir. Malangnya hanya satu
yang tertangkap, itu pun tidak sampai mati. Racun anti serangga jaman sekarang
memang punya kualitas buruk, tidak seperti yang digembar-gemborkan dalam iklan.
Karena kasihan, akhirnya kubiarkan saja dia berputar-putar,
jungkir balik, menungging kesana-sini sampai mabuknya hilang lalu kutinggal
tidur. Paginya, saat aku bangun. Aku lihat dia masih ada di sana. Masih hidup.
Awalnya kami saling diam, tidak ada yang mau
membuka suara, mungkin karena dia malu sudah tertangkap basah hendak mencuri di
kamarku, sedangkan aku jelas-jelas minder karena obat anti serangga sialan itu.
Menjelang siang, akhirnya gengsiku runtuh juga, aku sapa dia terlebih dahulu. Kutanyakan
alasan kenapa dia senang sekali mencuri di kamarku. Dia hanya menggeleng lalu
menjawab dengan suara lemah kalau dia tidak mencuri, dia memberi istilah tidakannya
selama ini sebagai daur ulang. Memproses sesuatu yang tidak berharga menjadi
berharga. Ampas kopi yang tak ada nilainya bagiku, baginya berarti makanan,
infus darurat supaya tidak mati. Apalagi kuah lontong, bagaikan mandi dalam
kuah rendang.
Percaya atau tidak, aku kasihan sekalgus
takjub. Jadilah aku membuat perjanjian. Setiap malam setelah menulis, membaca
atau nonton film, aku letakkan bekas makanan atau minumanku di tempat yang sedikit
terbuka, agar si kecoa bisa dengan leluasa mendaur ulang.
Sampai tiga bulan lalu, aku berhenti menulis,
sedikit sekali membaca dan tidak punya nafsu sama sekali untuk menonton film. Otomatis
aku tidak pernah membawa makanan ke dalam kamar, dan ini membuat si kecoa
merana. Berkali-kali dia mengeluh karena harus mencari makanan untuk didaur
ulang sampai ke kamar sebelah dengan resiko tubuh mejret karena dipukul
memakai sendal atau diinjak sepatu.
Kasihan juga, lalu kuadukan keluhanku pada dia.
Dia mendengarkan baik-baik keluhanku. Kesimpulannya, karena aku terlalu sering
naik roller coaster maka hal itu tidak menantang lagi. Pendapatnya ada
betulnya juga, tubuhku sudah tidak merasakan sensasi yang sama seperti
awal-awal naik roller coaster, makanya aku jadi bosan dan tidak
tertantang.
Makanya sekarang aku tulis surat ini buat kamu,
anggap saja sebagai say good bye, pamit karena aku mulai bosan naik roller
coaster melulu. Kamu kenal baik denganku, kata sentimentil jauh dari kamus
hidupku. Air mata hanya berlaku untuk orang yang sedang memotong bawang.
Walau jujur saja, kadang masih terasa ada bagian
yang hilang, aku percaya kursi-kursi roller coaster-mu akan selalu penuh
terisi. Mengajak orang-orang bersenang-senang dan meledakkan teriakan-teriakan
suka cita.
Pamitku ini lebih manusiawi, karena menyangkut
hidup, berkenaan dengan nyawa si kecoa tadi. Maka ikhlaskan saja aku pergi. Aku
berjanji akan kembali lagi, nanti, saat kamu mengijikan aku naik roller
coater-mu tanpa sabuk pengaman.
Di krcoa sudah mati, tertimpa batu. Dan beliau membiarkanya mati begitu saja.
BalasHapusJika kamu bosan naik roller coaster, mari kita naik hallilintar meski sama sama mengerikannya buatku?
Mau?
kalau sudah tak suka naik Roller coaster Dufan yang nanggung mau teriak, kita naik Kora-kora saya bagaimana?? pasti sensasi itu datang lagi. jantung loncat kemudian masuk kembali. berapapun banyaknya kita naiki ahahaha
BalasHapusMasih ada Drum Molen, kita bisa menaikinya tanpa sabuk pengaman. Lalu, kita kembali berputar-putar sembari menatap mereka dari mega-mega.
BalasHapusSalam buat kecoanya ya
BalasHapusSy bingung mau komen apa
BalasHapusBarangkali kamu butuh masuk di rumah hantu. Nanti aku akan menemani. Kamu duluan dan aku di ambang pintu saja.
BalasHapusAtau kalau kamu tetap berkeras pergi aku terserah saja. Kamu tahu ketika kembali nanti aku menunggumu di mana kan? Di ambanh pintu rumah hantu.
Begitukah seorang peminat kopi dan rokok itu? Karena aku bukan peminat dua-duanya.
BalasHapusTerngiang dua kata terakhir paragraf pertama....
BalasHapusTragis memang.
*eh
😄😄😄
BalasHapusDan saya tidak oernah berani naik roller coaster karena itu membuat kepala saya pusing 7 keliling.
BalasHapusSaya belum pernah naik roller coaster, bayangin aja gk berani...
BalasHapusSaya gak tau apakah saya cukup berani naik rollercoaster??
BalasHapusLet me guess, roller coaster = fiksi?
BalasHapusLet me guess, roller coaster = fiksi?
BalasHapus