Langsung ke konten utama

Uncle Ik Berbagi Tips Fiksi-Awalan

Jika Anda dihadapkan pada dua pilihan: saya ceritakan tentang sebuah masakan paling enak yang baru saja saya santap di sebuah restoran yang merupakan  bagian dari hotel bintang lima di daerah sekitaran Lapangan Banteng atau saya langsung bawakan masakan tersebut ke hadapan Anda agar Anda dapat merasakannya. Mana yang akan Anda pilih? Tak perlu dijawab sekarang.

Dua bulan lalu saya baru jalan-jalan ke daerah Puncak, Bogor. Anda tahu apa yang saya dapatkan selama jalan-jalan di sana? Hawa sejuk yang hampir mustahil bisa saya dapatkan di Jakarta, kota asal saya. Sambil menikmati segelas bajigur panas, saya merokok di atas sebuh kursi yang langusung menghadap ke area perkebunan teh yang menurun berbukit-bukit. Anda mau saya teruskan pengalaman saya, atau lebih suka jika saya memberikan ongkos agar Anda bisa menikmatinya secara langsung. Tidak perlu dijawab. Hampir seratus persen orang-orang selalu memilih opsi kedua.

Suatu ketika saat saya mengisi sebuah pelatihan menulis, di awal sesi, saya langsung meminta peserta membuka komputer jinjing mereka dan menuliskan sepuluh paragraf tulisan fiksi secara bebas. Tiga puluh menit kemudian, tidak sampai sepuluh persen peserta yang sanggup menuliskan tantangan yang saya minta.

Sangat mengejutkan, dengan peralatan yang memadai, tempat yang nyaman dan jumlah tulisan yang tak terhitung yang bisa dituliskan, sebagian besar peserta masih bisa berkata mentok.

Akan saya ulangi pertanyaan di atas dengan tema yang berbeda: saya jelaskan lebih lanjut tentang tips-tips menulis fiksi yang saya tahu atau saya berikan pena dan kertas lalu Anda saya berikan waktu untuk memulai menuliskan cerita fiksi Anda?

Saya berikan kalimat kunci untuk pembahasan di awal ini.

"DICERITAKAN ATAU MERASAKAN,
TEORI ATAU PRAKTIK"


Pilihan yang Anda buat akan menentukan nasib kita berdua. Selamat memilih. Sekian.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. ...

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah...

Bahagia Mati Sebagai Anjing

sumber: global-liputan6.com Di sinilah kami dikumpulkan, dipaksa berdiri walau tulang kami serasa lolos semua setelah habis dipukuli, dicambuk, digiring berpuluh-puluh kilometer jauhnya dengan berjalan kaki, bahkan beberapa dari kami diseret paksa karena sudah tidak sanggup berjalan. Satu menit di sini terasa seperti berhari-hari. Belas kasih adalah barang yang teramat langka. Ini adalah neraka dunia di mana manusia menjadi algojo, jadi izroil untuk manusia lainnya. Tak terhitung, hampir setiap hari kami saksikan ada saudara, kerabat, teman atau sahabat mati. Kebanyakan meregang nyawa di ujung bedil, sebagian lagi tewas dibekap lapar yang menggila, tidak sedikit juga yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri, tak sanggup menerima derita   tak berkesudahan ini. Tak bisa dipungkiri, perang merupakan titik terbawah dari perputaran roda nurani manusia. Saling berbunuh-bunuhan seolah perkara biasa, nyawa yang harus terbang seolah menjadi tumbal ideologi yang diagung-agung...