Langsung ke konten utama

Di Gang Itu


Tubuhnya sudah empat kali kejang-kejang di atas muntahannya sendiri. Matanya kadang terlihat putih di antara suara gigi yang gemeretak menahan gigil yang berasal dari dalam.

“Air… “ katanya setengah bergumam. Tidak kepada siapa-siapa, karena di dalam gang dengan selokan berbau pesing ini hanya dia sendiri. Meregang nyawa. Dengan napas putus-putus dan pandangan buram dia mencoba duduk, menyandarkan tulang punggung yang terasa remuk pada tembok penuh coretan graffitti kebencian.

“Air…” katanya lagi tanpa ditujukan kepada sapapun, tidak juga kepada Tuhan. Mustahil dia memohon pada sesuatu yang -dalam anggapannya- tidak pernah menciptakan dirinya. Tuhan jauh, akhirat minggat.

Apakah ini akhir? Batinnya.

Tangannya merogoh saku jaket lalu mengeluarkan bungkus rokok dan pemantik. Tinggal satu batang, teman terakir, tiket satu arah menuju ke sebuah wilayah baru yang tak pernah dia tahu, kematian.

Asap mengepul, dadanya panas serasa mau meledak tapi terus dia paksa menghisap. Asap rokok terasa pahit, dia paksa untuk tersenyum walau hambar.

Seburuk apa pun kematian yang akan menjemputku, aku ingin menyambutnya dengan senyuman karena lebih dari setengah dari kehidupan yang aku jalani takdir memaksaku menghadapkan wajah pada matahari dengan tatapan penuh amarah dan wajah tertekuk masam.

Dari balik asap rokok yang bergumpal-gumpal dia seolah melihat taman hijau dengan aliran sungai berair jernih. Ada rusa bermata jelita yang sedang merumput dan burung-burung gereja hinggap di perdu dekat sungai. Indah sekali.

Sebelum bayangan taman hijau itu pudar, buru-buru dia hisap rokok dan menghembuskan asapnya lagi. Bayangan taman itu semakin jelas, muncul dari balik asap. Ada pelangi di antara bukit, angsa-angsa berenang di danau biru.

Bayangan-banyangan itu mulai pudar lagi, dia hisap dalam-dalam rokoknya. Sia-sia, tinggal busa yang terbakar, berdesis dan mengeluarkan bau apek yang menyesakkan. Inilah saatnya, dia hisap dalam-dalam. Merasakan tenggorokannya semakin kering dan tercekat. Pembuluh darah di sekujur tubuhnya mengeras, rasa perih menjalar di seluruh permukaan kulit. Satu hentakan meletup dari dada, tubuhnya mengejang, rahangnya mengeras tapi tetap dia paksa untuk tersenyum. Semuanya menjadi gelap.

Tujuh hari lewat sudah. Setiap hari puluhan orang lewat di gang itu tapi tak ada satu pun yang mengingat jika ada seorang lelaki yang pernah mati di sana. Semuanya tampak tenang, nyaman, indah. Puntung rokok maut yang dia hisap sudah hilang tersapu hujan, nyemplung kedalam got lalu hanyut ke sungai dan terbawa arus sampai ke laut.

Interpretasi dari lagu Duality, Slipknot.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini