Langsung ke konten utama

Liontin

sumber: bangka.tribunnews.com
“Yang sedang kupikirkan bukanlah aku mau membunuh atau tidak,”kataku sambil menarik pelatuk dan mengarahkan laras pistolku ke anak beranak yang sedang saling berpelukan itu, “Tapi siapa yang harus aku bunuh terlebih dulu.”

Aku menyeringai puas, ketakutan yang terpancar dari wajah mereka semakin menjadi. Aku benar-benar menikmatinya.

“Jangan bunuh kami.” Iba si ibu sambil melepaskan pelukan anaknya dan berlutut memohon kepadaku.

“Sebutkan alasan yang bisa mengurungkan niatku.”

Si anak semakin keras tangisnya.

Si ibu menatapku lekat-lekat, tatapannya seperti ingin menerobos benteng terakhirku agar mau mengurungkan niat untuk membunuh mereka. Sudah terlalu terlambat. Uang muka sudah aku terima. 

Perlahan jari telunjukku mulai menarik picu. Jarak laras senapan hanya dua puluh sentimeter dari kening si ibu. Tidak mungkin meleset menembak dari jarak seperti ini.

Aku semakin dalam menarik picu, beberapa milimeter lagi timah panas akan segera bersarang di batok kepala yang dihargai cukup mahal ini. Harga tertinggi sepanjang karirku sebagai pembunuh bayaran, tambahan bonus jika aku habisi sekalian nyawa anaknya.

Senyumku semakin lebar.

“Tunggu!”katanya tiba-tiba dengan suara yang mantap. Aku menahan gerakan jari telunjukku.

“Bicaralah! Anggap saja sebagai kata-kata terakhir.” Aku menatap tajam ke arah matanya lalu sejenak berpaling ke arah anaknya yang sedari tadi meringkuk di pojok ruangan sambil menangis.

“Jika aku menceritakan padamu tentang sebuah rahasia, maukah kamu mengampuni nyawa kami.”
Aku berpikir beberapa jenak.

“Rahasia apa? Cepat katakan!” Aku semakin mempererat genggaman tanganku pada pistol. 

Meyakinkan agar tembakanku tepat di kening, tembus ke otak dan membuatnya mati seketika tanpa merasakan sakit. Bukankah aku masih mempunyai sisi lembuat dalam hati? Ahahahaha…

“Tapi rahasia ini terlalu besar, hanya beberapa orang yang tahu. Apakah kamu sanggup?”

“Bangsat! Cepat katakan!” Aku mulai kehilangan kesabaranku.

Si ibu duduk lalu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Sebuah liontin emas yang cukup besar dengan ornamen rumit tapi sangat indah. Aku renggangkan peganganku pada pistol. Dengan gerakan cepat kurenggut liontin itu dari tangannya yang gemetar, dia sempat menahannya tapi dengan gerakan kasar kudorong tubuhnya. Dia terpental beberapa meter, tangis anaknya semakin keras.

Aku tidak peduli. Dua buah kepala dengan bayaran yang sangat besar ditambah sebuah liontin emas yang kutaksir harganya sangat mahal. Ini adalah bonus besar. Setelah tugas ini rasanya aku bisa berlibur ke tempat-tempat eksotis selama berbulan-bulan. Hawaii, Goa, Dubai…

“Sekarang katakan rahasianya!” Aku teringat si ibu masih merahasiakan sesuatu dariku.

Si ibu berusaha duduk sambil memegangi lehernya, mungkin sedikit terkilir saat aku tadi menghempaskannya.

“Baiklah. Liontin yang kamu pegang itu mempunyai kekuatan.”

“Kekuatan apa?”

“Siapapun yang memilikinya akan hidup abadi.”

Tawaku meledak mendengar pernyataannya.

“Jika liontin ini bisa membuat hidup abadi, kenapa kamu menyerahkannya kepadaku, heh?” 
hardikku.

Si ibu tertunduk, diam.

Aku membuang waktu terlalu lama dengan permainan omong kosong ini.

Doooorrrr!

Kulesakkan timah panas ke arah kening si ibu. Tubuhnya terpental menimpa tubuh anaknya. Tiba-tiba pandanganku buram. Dadaku sesak, ada rasa sakit yang sangat dari bagian kepalaku. Aku merasa ada tenaga yang mendorong tubuhku dengan kuat.

“Tubuh ibu berat juga ternyata sekarang.” Samar aku mendengar suara anak tadi… dan tubuhku yang masih berdiri sambil tersenyum.

Si anak berjalan dan memeluk tubuhku yang masih menggenggam pistol.

“Kenapa ayah meminta orang ini untuk menukar tubuh kita, Bu?” tanya anak itu kepada ibunya yang tidak lain adalah tubuhku.

“Seperi biasa, Sayang, ayahmu pasti mempunyai rencana. Sekarang ambillah liontin itu, kita harus mencari pengganti tubuhmu yang baru.”

Aku melihat si anak berjalan dan berjongkok di hadapanku, di depan tubuh ibunya yang baru kutembak. Dia tersenyum dan mengambil liontin yang masih tergenggam di tangan kiriku, lalu semuanya gelap.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini