sumber: pixabay.com
“Mau lari
ke mana lagi, Kalian? Jangan berharap bisa lepas dariku!” Suara ayah Mika masih
terdengar dengan jelas diantara gemerincing daun jagung yang berdecit tergesek
tubuh kami.
Tangan Mika
menggenggam tanganku erat. Sesekali saat dia menengok ke arahku dapat kurasakan
rasa takut dan putus asa yang luar biasa dari ekor matanya. Nafas dan degup
jantung kami berpacu cepat. Rasa perih di kaki dan tangan mulai terasa. Perihnya
semakin menjadi-jadi saat keringat kami mengalir dan menyentuh luka gores yang
diciptakan daun jagung.
Mika hampir
menangis tapi sebisa mungkin dia tahan. Aku pun melakukan hal yang sama. Rasa takut
sudah hampir sepenuhnya menguasai diriku. Tubuhku terasa lumpuh, jika bukan
karena tarikan Mika pada tanganku, sudah sedari tadi aku terjerembab di ladang
jagung yang luas ini. Tapi kami berdua bertahan sebisa mungkin. Saling menguatkan
satu sama lain.
Langkah kaki
kami semakin pendek-pendek. Kelelahan, kaki kami berdarah di sana-sini. Mika
menarikku ke bawah. Memaksaku untuk berlutut.
Bibirku gemetar,
tangisku hampir meledak.
“Diam!”
katanya sambil menuntun tanganku untuk tengadah, berdoa.
Ada keheningan
tiba-tiba yang mengelilingi kami. Angin mati, daun jagung diam. Mika menatap
mataku dalam-dalam.
“Tutup
matamu dan mulailah berdoa!” perintahnya. Aku menurut. Kupejamkan mata, tapi
aku tak tahu doa apa yang akan kuucapkan. Aku hanya diam, menanti detik-detik
selanjutnya.
Mengapa aku
dan Mika sampai terjebak di tengah ladang jagung yang luas ini sambil melarikan
diri?
Siang itu,
seperti biasa. Alabama selalu cerah di bulan Juni. Karena hari ini Mika tidak masuk
sekolah maka aku berinisiatif untuk menjenguknya. Barangkali dia sakit atau ada
sesuatu al yang membuatnya urung datang ke sekolah hari ini.
Di depan
rumahnya yang dikelilingi ladang jagung. Sebuah rumah sederhana yang terbuat
dari balok dan papan, Mika tinggal berdua dengan ayahnya. Ibunya sudah
meninggal beberapa tahun lalu karena sakit paru-paru.
Ayah Mika
adalah seorang petani jagung yang membiasakan Mika dengan disiplin yang terlalu
keras jika tidak mau dkatakan kasar. Dia juga seorang pemabuk dan perokok berat
yang menghabiskan malam-malamnya di bar dan bernyanyi pada rembulan saat
purnama.
Mika harus
hidup menderita. Sepengetahuanku tidak ada seorang pun di sekolah kami yang mau
berteman dengannya. Dia sedikit aneh dan senang menyendiri. Hidupnya sedikit
anti sosial. Hanya aku lah satu-satunya temannya.
Mika sering
bercerita kalau dia memiliki kesempatan, maka dia ingin sekali pergi dari
rumahnya yang menyedihkan. Terbang seperti burung, berkelana ke pelosok-pelosok
Amerika. Menikmati bermain salju di Quebec, mandi matahari di Florida atau
sesekali bermain air hujan di Seattle. Keinginannya itu dia utarakan
berkali-kali saat kami bermain bersama.
Mungkin waktu
itu aku masih terlalu naif dan menganggap kalau itu hanyala angan-anagn anak
delapan tahun yang mustahil menjadi kenyataan.
Tapi aku
terlalu mengganggap rendah semangat Mika. Hari ini, saat dia tidak datang ke
sekolah dan aku berinisiatif menjenguk kerumahnya, Mika sudah berada di depan
pintu denga airmata berleleran di pipi dan koper besar di sampingnya.
Matanya membulat
saat dia melihatku turun dari sepeda, wajahnya mendadak pias seolah-olah tidak
mengharapkan aku datang atau aku sudah datang ke rumahnya di waktu yang kurang
tepat.
Mika berlari
ke arahku dan menggenggam tanganku erat sekali seolah-olah dia tidak ingin
melepaskannya.
Dooorrr..!
Sebuah ledakan
pistol menggema di udara. Ayah Mika keluar mendobrak pintu utama sambil
menyumpah-nyumpah.
Dooorr..!
Satu ledakan
lagi menggema. Aku tersadar dari lamunanku. Aku tengok ke kiri. Mika masih
menggenggam tanganku erat sambil tengadah. Matanya terpejam. Suara gemerisik
daun jagung yang dilewati ayah Mika semakin terdengar jelas.
Sebentar lagi kami
pasti tertangkap.
Bibir Mika
mulai begetar hebat, dia berdoa.
“Tuhan,
jadikanlah kami burung yang bisa terbang ke manapun kami mau...
Tuhan,
jadikanlah kami burung yang bisa terbang ke manapun kami mau...
Tuhan,
jadikanlah kami burung yang bisa terbang ke manapun kami mau...”
Mika
mengucapkan kalimat itu terus menerus dengan mata terpejam, semakin lama
ucapanya semakin keras.
Suara
teriakan ayah Mika terdengar makin jelas, semakin dekat. Aku ketakutan.
Aku berdoa
mengikuti Mika. Mengucapkan kalimat yang sama secara berulang-ulang, semakin
lama suara kami berdua semakin keras. Menjadi koor dengan kalimat yan terus
diulang. Air mataku tumpah.
“Akhirnya
kutemukan juga kalian.” Kudengar suara ayah Mika beberapa meter dari posisi
kami berlutut.
“Matilah,
Kalian!” teriaknya penuh amarah.
Aku dan
Mika tidak berhenti berdoa.
Dan tiba-tiba
ladang jagung riuh oleh cicit dan kepakan sayap burung. Semakin lama semakin
ramai.
Aku melihat
dari atas, ayah Mika terduduk sambil menangis.
|
Keknya ada filmnya yang mirip mirip ini..
BalasHapusJadi burung, mengangkasa, terbang bebas kemana dituju.
Ahahhahaha, cerdas
BalasHapusuncle ko cerdas sih buat cerita.
BalasHapusMasih belajar, Mbak Rika
Hapusapa judul filmnya?
BalasHapusTanya Mbak Wid 😁
HapusWoww...
BalasHapusThe power is doa uncle. Don juan :v
Ahahhahaha, makasih, Put
HapusWaw
BalasHapusWaw
BalasHapus