Langsung ke konten utama

Si Gajah Mengungsi


Suatu malam Si Gajah Terbang sahabatku datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa jerami dan dedaunan kering yang diikatkan ke tubuhnya yang tambun. Aku heran, tapi melihat dari mimik wajahnya membuat aku urung untuk menanyakan perihal kedatangannya. Aku melanjutkan obrolanku dengan Si Kecoa yang menceritakan tentang anak-anaknya yang tersebar di hampir seluruh Jakarta sambil ekor mataku tetap mengawasi gerak-gerik si gajah.

Si Gajah mengambil posisi di sudut untuk meletakkan barang bawaannya. Aku heran juga, biasanya dia datang tidak membawa apa-apa. Saat dia mulai duduk di atas sofa di seberangku, iseng aku bertanya.

“Mau pindahan?” tanyaku sambil mengangkat gelas kopi di atas meja.

Si gajah diam saja. Si kecoa yang yang sedari tadi juga ikut menyaksikan tingkah Si Gajah juga mulai penasaran.

“Ada apa, Kawan?“ tanyanya.

Wajah si gajah terlihat sendu. Warna kulitnya yang abu-abu terlihat lebih pucat dari biasanya.

“Apakah kamu membaca berita belakangan ini?” tanyanya tiba-tiba. Aku dan Si Kecoa saling berpandangan. Lalu kompak menggelengkan kepala.

“Sekarang harga gading gajah selangit.” Tiba-tiba dia berteriak dengan suara yang keras. “Itulah alasan aku mau minggat dari hutan. Dua hari lalu temanku yang kelaparan lalu nekat masuk kampung sudah dibantai. Dengar-dengar gadingnya sudah sampai China dengan harga yang fantastis.” Dia berucap sambil mengusap-usap gadingnya yang panjang.

“Lalu rencanamu untuk mengungsi ke kebun binatang bagaimana?”

Si Gajah diam.

Si kecoa paham dengan perasaan si gajah. Puluhan kali dia melihat saudaranya mati diinjak, mati tertungging dalam gelas berisi ampas kopi atau kejang-kejang karena disemprot racun anti serangga. Dia naik ke atas meja dan mulai menghisap tumpahan kopi di atas tatakan gelas.

Ada keheningan sesaat.

“Sama buruknya dengan di hutan, Kawan. Aku mendapat informasi dari sahabatku di sana. Belakangan ini jatah makanan di sana mulai dikurangi. Inflasi bikin harga makanan naik dan jumlah pengunjung berkurang. Ini jelas-jelas ulah manusia yang banyak gaya. Gaya-gayaan menangkap kami lalu di bawa ke kebun binatang dan sirkus buat jadi tontonan. Padahal kalau mereka membiarkan kami dengan tidak merusak hutan, kami akan tenang tinggal di sana dan manusia tak perlu repot-repot memberikan kami makanan. Aku benci manusia!” teriaknya histeris.

Aku sedikit kaget juga dengan tingkahnya hari ini. Biasanya dia tenang dan santai.

Si kecoa masih terus asyik menghisapi sisa tumpahan kopi di atas tatakan gelas.

“Eeehhhmmmm….”aku berdehem. Ada sedikit rasa tidak enak juga waktu Si Gajah bilang dia benci manusia.

Si Gajah sadar dan merubah sedikit air mukanya.

“Tentu saja kamu tidak termasuk, Kawan,” katanya, “Bahkan aku berencana untuk tinggal di sini sementara waktu untuk menyelamatkan diri sambil menyusun rencana penyelamatan diriku.”

“Lalu apa rencana jangka panjangmu?”

“Aku mau mengungsi ke pedalaman Amazon. Kudengar manusia masih banyak yang percaya takhayul dan belum banyak yang berani masuk ke sana.”

Logis juga pikirku.

“Kenapa tidak ke Afrika?” tanyaku penasaran.

“Di sana lebih parah. Daerah konflik, jangankan gajah sepertiku, manusia sepertimu saja kadang-kadang nyawanya tidak dihargai, aku dengar dari teman-temanku yang ada di sana seperti itu. Jadi keputusanku sudah bulat. Aku akan ke Amazon.”

Setelah bercakap-cakap sebentar, Si Gajah pamit untuk pergi tidur di atas tumpukan jerami dan dedaunan yang tadi dibawanya. Si kecoa pun pergi, menyelinap ke bawah ranjang.

Aku duduk sendirian, malam ini Si Pengharum Ruangan sedang tidak banyak bicara.

Aku sempat merenung. Dunia tidak baik-baik saja kalau ada mahkluk Tuhan yang harus mati sia-sia, apalagi manusia. Tapi aku bisa apa. Aku cuma seorang pengangguran yang banyak menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan seekor Gajah Terbang, Kecoa dan Pengharum ruangan.

Biarlah tugas luar biasa berat itu jadi urusan Menteri, Presiden dan Sekjen PBB. Tugasku hanya satu, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menjadi salah satu yang menjadikan dunia tidak baik-baik saja.


Sudahlah, aku mulai mengantuk.

Komentar

  1. Menarik, fiksi yang benar2 fiksi, saya mau belajar Uncle Ik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita belajar sama-sasa, soalnya saya juga masih belajar 😆

      Hapus
  2. Yey..di gajah terbang dan kecoa kembali datang

    BalasHapus
  3. Keren uncle
    Dari seekor gajah dan kecoa saja bisa jadi cerita menarik

    BalasHapus
  4. Keren kece badai. Belajar banyak dari tulisan Uncle.

    BalasHapus
  5. Tulisan uncle ini slalu ngingetin sama film ratatouli..
    Perlu bnyak blajar biar bisa ngembangin crita kaya gini 👍 keren uncle 👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ratatouli itu yang twntate tikus jadi koki ya?

      Hapus
  6. kasihan si gajah, jangan2 sy juga jd penyebab gajah mengungsi? bukannya tiap hr sy pake tissue yg diambil dr pohon2 hutan rumahnya si gajah ya?

    #sedih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, kurangin pemakaian tisu, beralih ke sapu tangan

      Hapus
  7. cuma bisa tepuk tangan ... miris sekali nasib binatang yang hampir punah itu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini