Pagi-pagi
sekali seisi rumah sudah ribut. Kepalaku masih pusing karena tidur yang belum
lengkap. Terjadi pertengkaran hebat antara Si Gajah dan Pengharum Ruangan,
mereka beradu argumen tentang siapa yang paling banyak pengalaman.
Si Gajah
yang usianya setua bumi berargumen kalau dia sudah sering melihat beragam
peradaban jatuh bangun, dilesakkan ke dalam bumi, melihat laut terbelah,
bertemu orang-orang suci sepanjang zaman berkali-kali melihat hutan terbakar.
Sementara Si Pengharum ruangan tidak mau kalah, dia bercerita kalau dirinya pernah
berkeliling dunia bersama sampah-sampah di samudera, terjerat jaring nelayan,
dikuliti tubuhnya di Swedia, jadi sparepart mobil di Jepang sampai
akhirnya afkir dan jadi barang rongsokan yang kubeli di tukang loak.
“Tapi kau
tidak pernah sebegitu diinginkan seperti aku, kan?” kata Si Gajah dengan nada
berseloroh. “Lihat gadingku ini. Harganya puluhan juta.”
“Kamu
pernagh tersangkut di tepian Antartika?”
tanya Si Pengharum ruangan.
“Tentu saja
tidak, mana bisa seekor gajah hidup di sana.”
“Berarti
petualanganmu belum terlalu jauh, Kawan.” Ledek Si Pengharum Ruangan.
Si Gajah
Muntab.
“Apa
hebatnya keliling dunia sebagai sampah.”
Si
Pengharum ruangan merasa terhina.
“Kamu juga
apa hebatnya? Cuma fosil hidup. Tidak sampai dua puluh tahun lagi manusia cuma
bisa mengenal kamu dari buku ensiklopedi atau tattoo penghias tubuh saja. Kamu
bakal punah, Kawan. Punah!” Setengah menjerit Si Pengharum ruanngan mencoba
membela diri.
Aku merasa
debat ini mulai tidak sehat. Setengah malas aku duduk di atas sofa lalu kakiku
kuselonjorkan ke atas meja.
Si kecoa
yang sedari tadi diam saja mulai angkat suara.
“Sudahlah,
Kawan. Bukan seberapa jauh, seberapa kuat atau seberapa lama kalian hidup.
Usiaku paling lama satu tahun sebelum aku mati. Jauh sekali dengan kau, Gajah
Terbang yang memiliki usia tak terbatas itu. Kakiku walaupun banyak tapi
kecil-kecil. Seberapa jauh sih aku bisa melangkah dengan kaki seukuran
ini? Tidak jauh, Kawan.”
Si gajah
dan Pengharum ruangan mendengarkan ucapan si kecoa.
“Yang jadi
masalah sekarang adalah apa yang nanti akan kita tinggalkan sesudah kita mati
dan seberapa banyak kebaikan yang kita berikan selama kita hidup ini. Jujur
saja, aku iri pada kalian. Gajah Terbang adalah mahkluk yang sangat diinginkan,
harga gadingnya saat ini berharga jutaan, bukan tidak mungkin sepuluh tahun
lagi bisa miliaran. Sedangkan aku, mahkluk yang paling tidak diinginkan,
bertemu manusia secara tidak sengaja saja aku bisa habis diinjak sampai lumat.
Untunglah aku menemukan tempat ini untuk sekadar menjadi shelter
menyelamatkan diri.”
Ucapan Si
Kecoa sudah mulai terasa berat, otakku tak akan sanggup mencerna semua
wejangannya. Aku butuh kopi. Dengan gerakan malas aku bangun dan berjalan pelan
ke arah dapur.
Tidak sampai
lima menit, segelas kopi panas terhidang di meja, aku tuangkan sedikit ke atas
tatakan gelas untuk Si Kecoa.
“Dan kamu,”
lanjut Si Kecoa sambil mengarahkan pandangannya ke Si Pengharum Ruangan. Aku
iri pada kamu, karena kamu tidak bisa mati. Kamu bisa menjadi apa pun selama
masih dibutuhkan. Dari kaleng pengahrum ruangan, sparepart mobil sampai
atap rumah kalau perlu. Sedangkan aku, paling banter jadi telur lalu
berubah jadi nimfa.”
Kami semua
yang ada di ruangan itu manggut-manggut takzim. Tak menyangka dari mulutnya
yang kecil itu bisa mengalir kebijakan-kebijakan yang tak pernah kami pikirkan.
“Yang
paling beruntung adalah kamu, Si Mahkluk Sempurna.” Tangannya yang kecil
menunjuk ke arahku. Aku terkesiap.
“Kamu bisa
mentransformasikan pemikiranmu kepada anak-anakmu, bahkan untuk beberapa
generasi sesudahnya.”
“Caranya?”
tanyaku dengan suara pelan.
“Jadilah
penulis. Wariskan pemikiranmu lewat karya. Jangan terlalu banyak menyimpan
kenangan. Tapi tuliskan kenanganmu itu supaya orang lain bisa belajar.”
Tiba-tiba
aku teringat draft tulisanku yang bertumpuk di laptop.
Aku
ngantuk, nanti saja kuselesaikan. Kuambil posisi berabring di sofa yang paling
nyaman. Si Kecoa asih saja terus bercerita, kuintip sedikit dari celah kain
sarungku, Si Gajah dan Pengahrum ruangan juga sudah terlelap.
Selamat
pagi, Kecoa. Semoga saat kami terbangun sedikit siang nanti, kami masih bisa
mengingat wejanganmu di pagi yang terlalu pagi ini.
Seperti biasa, keren Uncle ^_^
BalasHapusTerimakasih kecoa untuk wejangannya, merasa tersindir banget T_T
Sabar sabar si kecoa emang suka nyindir orang 😆
HapusAhh ini mah keren pisan uncle yaampun paradigma saya terhadap kecoak kok jadi berubah ya😂 seketika kecoak jadi gak semenggelikan sebelumnya. Thank you wejangan renyahnya uncle🙇
BalasHapusWejangan nya dari si kecoa, bukan dari saya. Saya cuma menceritakan ulang aja
HapusSang penjaga roller coaster kembali. Hurraayy
BalasHapusDipanggil buat jaga rollercoaster lagi, tapi maaih kerja kontrak
HapusTulisan uncle selalu punya ciri khas
BalasHapusAseeek
Hapusjadi kasian yah ama kecoa..ga salah apa2 di injek hehe
BalasHapusTumben si kiki komen
HapusWuiiihhhh.... mantap...
BalasHapusAhahahaha
HapusSarat makna
BalasHapus😀
HapusTerima kasih kecoa ... keren niih nasihat dari si kecoa :)
BalasHapusSyarat makna. Alhamdulillah
BalasHapus“Jadilah penulis. Wariskan pemikiranmu lewat karya. Jangan terlalu banyak menyimpan kenangan. Tapi tuliskan kenanganmu itu supaya orang lain bisa belajar.”
BalasHapusDengerin tuh kata Kecoa! Wkwkwk ....
nggih, ndawuh kecoa...
Hapuskeren iiih 👍👍👍
BalasHapusBagus...
BalasHapusTerimakasih kecoak atas wejangannya heheheh
Wah uncle Ik bikin citra kecoak jd enggak buruk2 amat 😅
BalasHapusPadahal sehari2 kalo liat kecoak hawanya pengen mites pake sendal swallow 😂