sumber: kompasiana.com |
Untuk kenyamanan membaca silakan
ikuti cerita sebelumnya…
Adegan pertama, di lobby kantor. Entah
berapa banyak aku lihat topeng yang dipasang secara paksa pada wajah-wajah yang
berseliweran di depanku,baik orang yang aku kenal ataupun tidak. Yang bikin
miris, topeng-topeng itu nyaris terpasang secara permanen dan mereka satu sama
lain saling memuji topeng-topeng itu setinggi langit sambil diam-diam mengutuki
wajah-wajah asli yang perlahan ciut dan memucat di balik topeng. Dan aku, setiap
saat memakai topeng terbaik yang sudah aku gunakan selama bertahun-tahun.
Adegan kedua, ruang rapat. Seperti anak-anak
yang sedang main rumah-rumahan, kami belajar membagi peran walaupun sebenarnya
tidak pernah sesuai. Aku yang memiliki latar belakang seni dan cenderung introvert malah ditempatkan di bagian
pemasaran yang menuntut keluwesan komunikasi dan kemampuan persuasi tinggi. Hal
ini berkat topeng yang sudah aku pakai selama bertahun-tahun. Sedangkan temanku,
orangnya luwes, pandai menyenangkan perasaan orang lain lewat kata-katanya malah
diangkat jadi asisten pribadi manager. Mungkin hidup managerku sudah terlampau
berat sampai-sampai butuh orang untuk memuja-muji dirinya setiap hari,
setidaknya hal itu bisa sedikit mengurangi beban yang dia tanggung.
Ramai-ramai kami memberikan argumen
sampai ruang rapat terasa mau pecah dengan kebahagiaan. Rasa optimis akan
kenaikan penjualan tahun depan, konsep pemasaran terbaru yang pastinya akan lebih
tepat sasaran sampai perkiraan pertumbuhan ekonomi yang melesat setelah melalui
tahun-tahun yang berat. Masing-masing dari kami menghibur diri dengan kepastian
yang kami ragukan sendiri. Kami hanya menceritrakan ilusi yang kami lihat dan
kami rangkai dalam kepala. Padahal, semuanya tahu, hanya dengan sedikit kenaikan
harga dolar atau pemerintah memberlakukan kebijakan ekonomi yang kekanakan,
pondasi perusahaan kami bukan hanya goyah tapi runtuh sekalian.
Tapi kami menguatkan satu sama lain,
memberikan harapan-harapan yang terasa seperti di awang-awang. Kami sedang main
rumah-rumahan. Tidak lebih.
Adegan demi adegan terus terpapar
jelas, jernih, terbuka dan telanjang. Aku semakin mual. Semakin banyak gelas
kopi yang aku minum. Lambungku terasa semakin perih, dosis obat anti depresi
meningkat tajam. Dokter angkat tangan. Aku ingin sembuh, aku butuh pelampiasan
untuk menahan rasa mual, makanya sekarang cerita ini aku tuliskan.
Speechless T_T
BalasHapusLoading baca tulisan uncle. Udah mual banget nih pasti rasanya
BalasHapus