Langsung ke konten utama

Dia - Hilang

source: klikmania.net
Untuk kenyamanan membaca silakan ikuti cerita sebelumnya…


Sinta
            Pirang, tinggi, putih, cantik dan tanpa ego untuk menjadi alfa, kasta tertinggi yang tak tertulis tapi tersimpan dalam gen manusia. Itulah aku, tidak mau jadi apa-apa, hanya mau jadi Sinta yang manis, yang lebih senang duduk di kursi bagian belakang agak ke tengah dari pada duduk paling depan dan mendominasi semua pelajaran di kelas. Ada yang lebih menarik untuk dipelajari dalam kelas dibanding pelajaran; penghuni kelas itu sendiri.
            Helen yang bagai manequin, mengafani dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan merek. Tidak kurang dari dua puluh tiga juta harga yang harus dia tebus untuk jadi ‘barbie’. Lensa kontak, bedak, lip gloss, gawai keluaran terbaru, tas impor, dan sepatu limited edition dari perancang terkenal. Sikap imut dan sedikit acuh bak putri yang dia contek habis-habisan dari drama seri korea melengkapi ikatan kafannya yang hampir sulit dibuka. Dia mati megap-megap dalam penyamaran.
            Ruben, tampan, tinggi, tubuh atletis, homo, penyakit gaya baru. Sikap sok jantan yang dia tunjukkan tidak bisa menutupi kalau dia hidup dalam dua dunia yang saling bersimpangan. Dia menderita tapi tidak bisa lepas dari penyakit yang malah dia rawat dengan senang hati, dan aku menikmati penderitaannya.
            Yang paling aku suka, Ahmad. Sederhana, seorang pemalas yang jenius, jarang masuk, sering tidur dikelas. Semua pelajaran sebulan sebelumnya sudah dia rangkum dalam waktu tiga hari, makanya bisa belajar sambil ugal-ugalan. Dia alfa, tapi tidak ingin menonjolkan dominasinya. Beda dengan saya yang malah ingin menghilang, ada tapi tak termatra, tak tersentuh. Seperti bayangan, laksana asap.
            Semakin hari, rasa ingin menghilang menjadi semakin kuat, satu persatu teman baikku menjauh. Aku semakin apatis. Sampai pada puncaknya aku ingin bangku yang aku duduki kosong, namaku hilang dari daftar absen dan tidak ada lagi orang yang pernah menyebut atau mengingat nama Sinta.
            Tak ada yang lebih gila dari orang yang ingin dirinya hilang. Bunuh diri tentu saja bukan solusi, namaku akan disebut selama berminggu-minggu lalu tabloid dan koran-koran merah akan mencetak namaku besar-besar sebagai headline mereka.
            Menarik diri secara perlahan-lahan adalah solusi. Lebih gilanya lagi, di saat aku merencanakan ‘penghilangan’ aku malah merasa butuh seseorang untuk aku ajak berbicara, seseorang yang biasa kuajak diskusi untuk merencanakan semuanya.
            Aku semakin terjebak. Merasa kesepian dalam penciarianku akan sepi. Kewarasanku sedikit demi sedikit mulai terkikis.

Komentar

  1. Shinta itu penyendiri yang tak butuh keramaian yang dibutuh hanya teman berbagi cerita, btw komen saya ini adalah lirik lagu yg judulnya penyendiri, trus shinta mau gmn uncle?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sinta mau makan siang dulu, laper katakat tadi pagi belom sempat sarapan

      Hapus
  2. Penasaran sama Ahmad(gondrong gak tuh?)
    Semoga _nggak_ kentang

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini