Kuhitung garis-garis yang kukerat pada batang pohon kelapa ada enam puluh sembilan. Berarti sudah enam puluh sembilan hari aku terdampar di pulau ini. Dengan hanya memakan daging kelapa, kerang, ikan dan sesekali menggasak akar-akaran ternyata aku masih bisa hidup. Dan, yang mengherankan aku malah senang terdampar di pulau ini. Ada hening yang seumur hidup aku dambakan, hanya ada debur ombak dan nyanyian angin. Di Jakarta, hari-hariku selalu sibuk. Bising suara kendaraan, klakson, sumpah serapah, suara tuts keyboard yang ditekan, derit mesin fax, teriakan bos sampai suara anak kecil yang menangis. D isini tenang dan damai. Dan yang paling menyenangkan adalah begitu banyak botol-otol kaca yang singgah ke pulau ini. hanya botol kaca, tidak dengan sampah-sampah yang lain, seolah-olah pulau ini punya kemampuan untuk menyesap semua botol kaca yang terapung-apung di lautan. Dalam setiap botol kaca selalu ada satu atau dua pesan yang dimasukkan. Itulah hiburanku sehari-hari. Aku tidak
Kereta tengah malam selalu begini. Senyap. Tapi aku suka kesunyian karena ia lebih banyak berucap dari sekedar kata-kata. Pada derit pintu yang membuka-tutup secara otomatis ada sebuah cerita, tadi siang ada seorang kekasih harus berurai air mata saat lelakinya pergi. Ada lagi kursi-kursi yang mengobrol sepanjang perjalanan. Mereka mengobrolkan moral. Mereka suka sekali mmbicarakan hal itu, mereka menyebutnya moral pantat. Saat hati dan pantat dipertarungkan dalam sebuah arena panjang antara satu stasiun ke stasiun lainnya. Anak muda yang berpura-pura apatis dengan mentap layar ponsel sepanjang jalan atau lelaki gagah yang berpura-pura tidur seolah-olah kelelahan sehabis menantang seluruh dunia. Padahal biasanya banyak anak-anak dan orang tua yang lebih berhak. Rasa kemanusiaan mereka diukur pada sebatas pantat mereka sanggup menahan godaan dari kursi saja. Stasiun demi stasiun berlalu. Ada yang turun dan ada yang naik. Semua hadir dengan karakter yang unik. Kereta tengah malam m