Patty mulai khawatir, ini sudah
ketukan ketiga kalinya. Hampir sia-sia. Sejauh ini yang dia harapkan hanya
wajah Tom yang jenaka tiba-tiba muncul dari balik pintu sambil menyapa, “Kamu
terlihat pucat malam ini, Sayang. Kamu pasti terlalu lelah bekerja.” Itu saja.
Setelah
pertengkaran hebatnya dengan Tom saat gladi resik tadi siang, yang dia harapkan
saat ini hanya wajah Tom, tidak lebih. Banyak orang tidak mengetahui kalau
Patty, seorang pemain opera paling terkenal di New York yang kecantikannya mampu
melelehkan hati seorang Baron, tidak pernah bisa melepaskan cintanya dariTom,
seorang penulis yang baru saja melahirkan novel perdananya dan menjadi best
seller lalu menjadi buah bibir di seluruh pelosok negeri.
Dia
ketuk beberapa kali lagi, mencoba memastikan. Dalam angan-angannya dia berharap
saat ini Tom sedang tertidur pulas karena kelelahan begadang sampai berhari-hari
untuk menyelesaikan novel keduanya. Masih tidak ada jawaban.
Patty
mengambil anak kunci dari cadangan dalam tas tangannya. Memasukkan ke lubang
kunci dan mendorong pintu perlahan-lahan. Suara derak engesel pintu yang lama
tidak diberi pelumas dan suara sol sepatunya yang berdecit saat dia melangkah
masuk menggema, memantul-mantul di antara dinding apartemen yang luasnya tidak
sampai sepertiga luas kamar Patty di rumahnya di Pasadena.
“Tom…”
suara Patty memanggil Tom dengan suara dikecilkan, malah terkesan seperti
desahan. Panggilan yang mengesankan rindu tapi ragu.
“Tom…”panggilnya
lagi. Tak ada jawaban.
Patty
bergegas ke kamar untuk memastikan. Kosong. Tom sudah memilih, batinnya.
Siang
tadi, di tengah pertengkaran hebat mereka karena Patty ingin Tom hadir untuk
menonton pentas operanya sementara Tom bersikeras untuk tidak datang dan
menyelesaikan novel keduanya, Patty sempat memberikan ancaman kepada Tom.
Sebuah
ancaman yang sebenarnya tidak pernah dia ingin lontarkan sampai kapanpun, dan
semua terucap begitu saja. Sebuah ancaman yang memiliki konsekuensi panjang.
“Baiklah,
Tom, segeralah pulang, istirahat. Pukul tujuh nanti akan aku jemput untuk
menonton pentasku.”
“Tapi
aku tidak bisa, Sayang. Ada sesuatu yang berputar-putar dalam kepalaku dan
harus segera aku tuliskan. Aku harus menulis lagi malam ini.”
“Dua
bulan, Tom. Dua bulan. Selama dua bulan ini kamu tidak pernah pulang ke
apartemen, menghabiskan waktumu dengan terus-menerus menulis tanpa henti. Hanya
malam ini, yang aku pinta hanya malam ini. Kamu duduk di bangku penonton dan
melihatku di pentas. As simple as that.”
“Maaf,
Sayang, tapi aku tidak bisa…”
“Stop!”
bentak Patty sambil jari telunjuknya mengacung ke arah Tom. “Jika malam ini
saat aku jemput kamu tidak ada di apartemen. Ini mungkin akan jadi pertemuan
terakhir kita. Silakan pilih, malam ini kamu hadir atau tetap meneruskan
novelmu?!”
Dan
malam ini Tom telah memilih. Apartemen kosong. Patty sendirian. Kesepian. Hanya
suara keukan di kaca jendela yang terbias air hujan.
Patty
berjalan keluar dengan langkah goyah. Setiap langkah kakinya yang
berdecit-decit di anak tangga semakin membuatnya risau. Semakin lama dia
semakin merasa terteror dengan suara decit sepatu.
Saat
tiba di luar apartemen dia lekas-lekas mencari tempat sampah dan membuang
sepatunya di sana. Hujan semakin lebat. Jalanan sepi, tak ada taksi yang lewat.
Patty menangis sejadi-jadinya. Setidaknya dalam hujan tak ada orang yang akan
menyadari tangisannya.
Hampir
sepuluh menit, taksi yang lewat. Tubuh Patty sudah kuyup, tangisannya sudah
terhenti. Romansa selama empat tahun akhirnya dapat ditebus tangisan dalam
hujan tidak sampai sepuluh menit, dia merasa sedikit lega sekarang.
Beberapa
meter di depannya ada kunang-kunang terbang. Dia perhatikan dengan teliti. Kunang-kunang
yang terbang sempoyongan karena menghindari garis hujan. Sebentar,
kunang-kunang dalam hujan di kota New York?
Ada
pentas yang dibatalkan malam itu dan koran-koran keesokan harinya menuliskan
judul besar-besar pada bagian headline-nya tentang seorang pemain opera
yang mati bunuh diri dengan menabrakkan diri di jalanan kota New York.
Enam
bulan setelah itu, di sebuah bar, Tom sedang asyik menenggak bourbon
sambil menikmati kesuksesan novel keduanya tentang kisah tragis antara gadis
cantik pemain opera dan seorang penulis.
Ckckckck.. 👏👏👏👏
BalasHapus😎😎😎
HapusWow...keren
BalasHapusAseeekk
Hapusisshhh... sadisss...
BalasHapusNggak ah, biasa aja
HapusSelalu ada hikmah dalam setiap kejadian. Selalu ada akibat dari setiap perbuatan.
BalasHapusJika bisa mundur sedikit, mungkin aku akan berpikir, “Andai sang perempuan bisa tetap ber-positive thinking hingga akhir,” dan “apakah sang perempuan tidak pernah bertanya seperti apa naskah yang sedang digarap sang lelakinya?” atau “apakah sang lelaki tidak pernah memberitahukan bocoran atau cuplikan naskah yang sedang ia buat?” atau juga “mungkin sang perempuan terlalu candu dengan lelakinya sehingga sangat membutuhkan ‘tatapan’ sang lelaki pada saat yang ia sangat sangat sangat inginkan,” atau pula “mungkin sang perempuan sudah terlalu bersabar dengan sikap sang lelakinya.”
Namun, di luar itu semua, takdir-Nya yang memang lebih berkuasa. Berkuasa atas segala jalan cerita yang tercipta. Layaknya penulis yang telah menggariskan akan seperti apa takdir para tokoh ciptaannya.
Tandain dulu, bacanya nanti, komentarnya panjang banget
HapusTom keren bgt
BalasHapusYoi dong 😎😎😎
Hapusbourbon apaan tuh.. kok kaya nama makanan uncle..
BalasHapus