Dan malam ini ―tidak seperti malam-malam yang
lain― sebuah pengakuan harus dirampungkan, sebab kalau tidak, maka tak ada satu
orang pun yang sanggup melakukannya kecuali diriku. Dunia harus mengenang ―setidaknya―
jika mereka tidak ingin mencatatnya. Ada sebuah siklus yang memang terus-
menerus terjadi dalam kehidupan manusia, di luar kelahiran dan kematian. Keajaiban
memang ada dan terus terjadi, entah disadari atau tidak.
Di
hadapanku ―malam ini― kursor pada layar komputer jinjing terus saja berkedip
seolah meminta pengakuan yang lantang. Sepuluh halaman pertama selesai, tanpa
jeda. Dua gelas kopi sudah tandas tinggal ampas. Selalu saja ada yang
memaksaku, mengganggu, mengajak untuk terus-menerus menguras isi benak. Mengurai
jalinan memori dalam saraf yang mulai awut-awutan tergerus waktu.
Aku
sudah tidak muda lagi. Aku akui. Cerita ini
terjadi sepuluh… tidak… mungkin lima belas atau dua puluh tahun yang lalu. Butuh
usaha keras untuk mengingatnya dan butuh usaha yang jauh lebih keras lagi untuk
mengingat setiap detailnya. Tapi uniknya, semakin aku berusaha keras,
kenangan-kenangan itu seolah menjauh, menutupkan dirinya dalam tirai-tirai yang
tak mampu aku sibak. Namun, saat aku bangun tidur atau menggiling biji-biji kopi, kenangan itu burai,
melimpah-limpah, mengisi setiap potongan puzzle kenangan yang rumpang.
Cerita
ini tentang seseorang yang datang dan pergi dalam hidupku sesukanya, orang yang
tak pernah mampu aku lokasi keberadaannya, sampai saat ini. Seorang jenius. Bukan,
maksudku bukan orang yang mempunyai titel panjang di depan atau di belakang
namanya. Untukku ―secara pribadi― adalah orang yang bisa menjelaskan hal-hal
yang sebegitu rumit dengan cara yang sederhana, bahkan kadang sebuah penjelasan
tanpa penjelasan. Kalian paham maksudku, kan?
Baiklah,
ini memang sedikit rumit dan akan aku usahakan untuk menceritakannya
sesederhana mungkin. Cerita ini aku tuliskan bukan untukku, bukan untuk kalian,
tapi untuk generasi setelah aku, setelah kalian, setelah kita.
Akan
aku perkenalkan orang ini, entahlah sekarang dia masih hidup atau tidak, jika
ya, maka sebuah keajaiban sedang terjadi lagi seandainya dia membaca tulisan
ini. Atau mungkin ada orang lain yang juga pernah bertemu dengannya dan
merasakan keajaiban yang penah dia ciptakan untukku.
Keajaiaban
paling murni, tanpa ritual, tanpa sihir, tanpa mantra.
Cerita
ini aku persembahkan untuk Marchak Dia Thi.
Siapa Marchak Dia Thi?
BalasHapusditunggu sambungannya
BalasHapus