Langsung ke konten utama

Pangilan I: Si Jenius

       Dan malam ini ―tidak seperti malam-malam yang lain― sebuah pengakuan harus dirampungkan, sebab kalau tidak, maka tak ada satu orang pun yang sanggup melakukannya kecuali diriku. Dunia harus mengenang ―setidaknya― jika mereka tidak ingin mencatatnya. Ada sebuah siklus yang memang terus- menerus terjadi dalam kehidupan manusia, di luar kelahiran dan kematian. Keajaiban memang ada dan terus terjadi, entah disadari atau tidak.
                Di hadapanku ―malam ini― kursor pada layar komputer jinjing terus saja berkedip seolah meminta pengakuan yang lantang. Sepuluh halaman pertama selesai, tanpa jeda. Dua gelas kopi sudah tandas tinggal ampas. Selalu saja ada yang memaksaku, mengganggu, mengajak untuk terus-menerus menguras isi benak. Mengurai jalinan memori dalam saraf yang mulai awut-awutan tergerus waktu.
                Aku sudah tidak muda lagi. Aku akui.  Cerita ini terjadi sepuluh… tidak… mungkin lima belas atau dua puluh tahun yang lalu. Butuh usaha keras untuk mengingatnya dan butuh usaha yang jauh lebih keras lagi untuk mengingat setiap detailnya. Tapi uniknya, semakin aku berusaha keras, kenangan-kenangan itu seolah menjauh, menutupkan dirinya dalam tirai-tirai yang tak mampu aku sibak. Namun, saat aku bangun tidur atau  menggiling biji-biji kopi, kenangan itu burai, melimpah-limpah, mengisi setiap potongan puzzle kenangan yang rumpang.
                Cerita ini tentang seseorang yang datang dan pergi dalam hidupku sesukanya, orang yang tak pernah mampu aku lokasi keberadaannya, sampai saat ini. Seorang jenius. Bukan, maksudku bukan orang yang mempunyai titel panjang di depan atau di belakang namanya. Untukku ―secara pribadi― adalah orang yang bisa menjelaskan hal-hal yang sebegitu rumit dengan cara yang sederhana, bahkan kadang sebuah penjelasan tanpa penjelasan. Kalian paham maksudku, kan?
                Baiklah, ini memang sedikit rumit dan akan aku usahakan untuk menceritakannya sesederhana mungkin. Cerita ini aku tuliskan bukan untukku, bukan untuk kalian, tapi untuk generasi setelah aku, setelah kalian, setelah kita.
                Akan aku perkenalkan orang ini, entahlah sekarang dia masih hidup atau tidak, jika ya, maka sebuah keajaiban sedang terjadi lagi seandainya dia membaca tulisan ini. Atau mungkin ada orang lain yang juga pernah bertemu dengannya dan merasakan keajaiban yang penah dia ciptakan untukku.
                Keajaiaban paling murni, tanpa ritual, tanpa sihir, tanpa mantra.

                Cerita ini aku persembahkan untuk Marchak Dia Thi.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini