Sumber: pixabay.com |
Hidupnya masih berkutat antara
tumpukan kertas, tembakau, mesin ketik dan bourbon. Tidak ada hidup yang
jauh lebih hidup dari itu semua. Seperti dokter dengan pisau bedahnya, tidak,
mungkin jauh lebih dari itu. Seorang dokter hanya berusaha agar sesuatu yang
hidup tetap hidup, tapi dia berusaha agar yang mati menjadi hidup. Huruf
seperti sel, kata adalah jaringan, kalimat menjadi organ, dan susunan kalimat
memperutuh paragraf menjadikannya sebuah sistem organ, lengkap.
Sebuah hidup baru tercipta, dengan degupan
jantung dari ketukan mesin ketik tua dan bourbon mengalir dalam nadi
cerita. Nafas baru yang beraroma tembakau dihembus-hembuskan ke seisi ruangan.
Sempurna.
Sam duduk di kursi kerjanya sambil
memandangi garis hujan dari jendela kamarnya yang buram. Seattle selalu hujan,
sepanjang tahun. Dapat dipastikan Pepsi dingin tidak akan laku dijual di
sini. Langit kelabu, bumi tua.
Mendekati tengah malam, suara
ketukan mesin ketik semakin intens, seolah-olah ingin bersaing dengan suara
rintik hujan yang terus-menerus mengetuk kaca jendela yang semakin buram.
Ruth masuk ke dalam ruangan, ingin
memastikan keadaan Sam.
Sam masih tenggelam dalam
kesibukannya, menulis cerita. Bukan, bukan sekadar menuliskan tapi lebih
mendekati menghidupkan satu tokoh. Kali ini dia ingin tokohnya benar-benar
hidup dalam sebuah cerita yang utuh.
Ruth memegang bahu Sam. Sam
menghentikan sementara aktifitas menulisnya. Memijat-mijat keningnya yang
terasa semakin pusing.
“Istirahatalah sejenak, kamu sudah
menulis hampir seharian.” Kata Ruth dengan nada dipelankan.
“Waktunya hampir tidak pernah cukup,
Sayang.” Jawab Sam, lalu berdiri mengambil botol bourbon kedua,
menuangkannya pada dua buah gelas dan menawarkannya pada Ruth. Ruth menerima
lalu menyesap minuman itu perlahan.
“Oh, ya. Kamu sudah menemui DDokter
Robert?” Tanya Sam sambil menghempaskan pantatnya di atas sofa sambil
menyilangkan kakinya, Sam memutar-mutar Bourbon dalam gelas. Ada yang sedang
dia pikirkan saat ini, lebih tepatnya sedang dia risaukan.
“Sssshhh… Entahlah,” jawab Ruth
sambil mendesah seolah apa yang akan dikatakannya saat ini begitu berat. “Satu
bulan, katanya.” Ruth meneruskan kata-katanya lalu menyusul Sam duduk di sofa.
Sam menaruh gelasnya di atas meja
lalu berjalan ke arah jendela, menyibak tirai sedikit, memandangi garis-garis
gerimis yang sepertinya tak berujung. Sejauh mata memandang hitam pekat
terpampang. Sesekali langit terlihat terang karena jilatan kilat.
Sam kembali duduk di atas kursi
kerjanya.
“Waktuku tidak lama lagi, harus aku
selesaikan cepat-cepat.” Kata Sam sambil berusaha memusatkan konsentrasinya
untuk mulai menulis lagi.
“Jangan terlalu memaksakan.” Jawab
Ruth. Dia khawatir jika Sam terlalu memaksakan dirinya justru akan memperparah
kondisi kesehatannya.
Sam hanya diam dan mulai melanjutkan
tulisannya.
Ruth bangkit dan berjalan ke arah
Sam.
“Besok aku harus berangkat ke
Toronto, aku khawatir dengan kesehatanmu.” Ruth memeluk Sam dari arah belakang
seolah ingin mengalirkan kehangatan dan semangat.
Sam menghentikan kegiatannya,
sedikit mendongakkan kepalanya.
Ruth mengecup bibir Samm pelan.
“Pergilah, Ruth. Aku janji akan
baik-baik saja.” Jawab Sam santai.
“Satu bulan, itu kata Dokter Robert.”
Mata Ruth mulai berkaca-kaca.
Sam menggenggam tangan Ruth yang ada
menyilang di dadanya. Bibir Sam tersungging sambil memandang ke arah Ruth
seolah-olah mengejek kata-kata yang barusan dikatakan Ruth.
“Dokter Robert cuma manusia biasa.
Dia bukan Tuhan. Tahu apa dia soal hidup dan mati.”
Ruth melepaskan pelukannya. Dia
selalu merasa sebal jika sifat arogan Sam mulai timbul. Sifat yang dia benci
sekaligus dia cintai disaat yang bersamaan. Sam adalah seorang rock star
di bidang penulisan, keberanian, sifat flamboyan sekaligus keangkuhan yang
kadang-kadang Sam pertontonkan di depan dirinya dan di hadapan dunia memang
menjadi daya tarik luar biasa.
“Oh, ya. Bolehkah aku melihat
karyamu yang terbaru?”
Sam menggeleng.
“Minggu depan saat kamu kembali dari
Toronto kamu boleh membaca tulsianku. Dan,” Sam menahan kata-katanya. “Aku
jamin kamu akan mencintai tulisanku ini melebihi apapun di dunia ini. Aku
berani menjamin.” Mata Sam berkilat-kilat saat mengucapkan kata-kata itu.
Ruth sadar, Sam memang arogan tapi
dia bukan pembohong. Ada sesuatu yang luar biasa yang akan didapatkannya satu
minggu lagi. Di ruangan ini.
*****
Ruth mengetuk pintu ruang kerja Sam.
Tak ada jawaban. Dia putar gagang pintu dan mendorong daun pintu pelan-pelan,
khawatir decit engsel pintu mengganggu Sam yang barangkali sedang tidur.
Ruang kerja Sam kosong. Tak ada bau
tembakau atau aroma Boubon. Ruangan ini terlalu hening. Tiba-tiba Ruth
merasakan sesuatu, firasat.
Ruth berjalan ke arah meja kerja
Sam. Ada tumpukan kertas yang cukup tinggi di samping mesin ketik yang biasa
Sam gunakan untuk menuliskan cerita.
Di kertas paling atas tertulis
sebuah kalimat yang dituliskan dengan pena. Dari gaya menuliskannnya jelas
tulisan tersebut dibuat dengan tergesa-gesa. Tulisan itu berbunyi, ‘A Gift
for The Gift’.
Ruth mengambil tumpukan kertas
tersebut, mengambil bourbon dan menuangkannya ke dalam gelas. Sambil
duduk di sofa, Ruth memangku tumpukan kertas dan membacanya lembar demi lembar.
Semakin banyak dia membaca, semakin terang sudah apa maksud ucapan Sam satu
minggu sebelumnya.
Dalam tumpukan kertas itu Sam
menuliskan sebuah cerita tentang seorang penulis flamboyan yang mempunyai
seorang istri bernama Ruth. Penulis flamboyan yang bernama Sam itu suatu ketika
didiagnosis oleh seorang Dokter bernama Robert menderita kanker otak dan
umurnya ditaksir tidak akan sampai satu bulan lagi, tapi entah bagaimana,
penulis yang bernama Sam itu, dengan keangkuhannya berhasil melawan kanker otak
yang dideritanya dan bisa hidup sehat dan normal kembali. Hidup bahagia bersama
istrinya, Ruth.
Perlahan pipi Ruth terasa hangat.
Ruth menangis, bahagia. Sebuah kebahagiaan yang begitu luar biasa, yang tak
pernah dia alami sama sekali seumur hidup. Suaminya, Sam. Entah bagaimana
caranya, sudah memepertontonkan keangkuhannya dengan begitu elegan. Dia
berhasil melawan kanker otaknya dengan cara yang tak pernah terpikirkan oleh
dokter manapun.
Ruth menaruh gelasnya di atas meja
lalu berjalan ke arah jendela, menyibak tirai sedikit, memandangi garis-garis
gerimis yang sepertinya tak berujung.
Dia tersenyum.
Dia tak pernah sebahagia ini
sebelumnya.
Tulisannya ada ruhnya. Waw.
BalasHapusCuma tulisan iseng aja, Bangπ
HapusAsyiik...always..
BalasHapusAseeekk
HapusSukaaaaaaa πππ
BalasHapusTulisannya kerennnnnn....
BalasHapusAku jadi termotivasi nih.
Haha harus bisa