Langsung ke konten utama

Cerita Tentang Saya dan Semua Hal yang Tidak Penting -1



sumber: pixabay.com

Bukankah ini tragis? Saat saya sadar kalau saya hanya ingin menulis tanpa berkeinginan untuk menjadi penulis. Bermain-main dengan warna-warni pelangi dalam kepala yang kadang rewel, tanpa mengenal panas atau hujan tetapi tiba-tiba minta dituliskan atau saya terpaksa buru-buru menyalakan laptop untuk mengenang sahabat yang pagi-pagi mati tertungging, tenggelam dalam ampas kopi. Padahal bela sungkawa terdalam ada di hati, bukan hasil dari tak-tik-tuk keyboard dan loncatan kursor yang kadang bikin mata pedih.

Beberapa minggu terakhir tampaknya sangat menyenangkan, setelah saya sadar kalau saya hanya ingin menulis tanpa perlu menjadi penulis. Saya bisa semalaman ngobrol dengan gajah terbang yang belakangan jadi sering berkunjung ke kamar. Dia masih tetap berpipi tembam dan pantatnya semlohai, walaupun garis-garis halus pada matanya tidak bisa berbohong. Dia sudah tua-menurut pengakuannya dia berusia setua bumi-. Menjadi saksi peradaban dibangun dan runtuh, ikut berayun-ayun terbawa gelombang dalam perahu nabi Nuh dan menyaksikan bangsa-bangsa hilang karena berkhianat pada ajaran yang dibawa para nabi dan rasul.

Dan saya tidak percaya pada pengakuannya, kepala saya terlalu banyak di isi hal-hal yang ruwet belakangan ini. Saya ingin cerita sederhana tentang anak monyet yang diterkam buaya karena tidak patuh pada induknya untuk tidak bermain dekat danau atau tentang matinya seekor kodok serakah, karena merasa bisa hidup di darat dan air lalu nekat juga ingin menguasai lautan yang asin, lalu berakhir dalam perut gurita.

Sambil minum segelas kopi kami berdua terpingkal-pingkal saat si gajah terbang bercerita tentang si raja hutan yang setengah mati ingin di relokasi ke kebun binatang. Alasannya selain makanan di sana terjamin, karena jika mati setidaknya bisa masuk koran dan bisa bikin seisi kota bersedih. Tidak seperti di hutan-tempat tinggalnya saat ini- paling banter kalau tidak mati di moncong senapan pemburu, maka akan menjadi kompos.

Oh iya, saya juga harus menceritakan tentang teman baru saya, sebuah alat penyemprot pewangi ruangan otomatis. Dia saya beli bekas dari tukang loak di dekat rumah. Awalnya saya tidak tertarik untuk membelinya. Kamar saya yang tidak berjendela memang baunya selalu apek, tapi saya nyaman saja karena sudah bertahun-tahun tinggal di dalamnya. Hidung saya sudah ter-set otomatis pada mode off  saat masuk kamar. Jadi rasanya aman-aman saja. Lagian, memiliki jendela di lingkungan tempat tinggal saya rasanya seperti memaksakan kebodohan. Kiri-kanan diapit rumah tinggi-tinggi, paling banter kalau ada celah untuk membuat jendela, sepanjang hari hanya bisa melihat cucian tetangga yang dijemur ajojing ditiup angin. Apa indahnya? Untuk ventilasi? Nonsens. Jendela adalah pembunuh gaya baru yang memasukkan debu dan polusi ke dalam kamar. Tak ada alasan logis untuk membuat jendela.

Pssssttt…

Psssstttt…

Itu adalah sapaan pertamanya. Saya pandangi dia lekat-lekat.

"Ada apa?"" Tanya saya iseng.

Psssstttt…  jawabnya.

Jawaban yang tidak menarik, lalu saya tinggalkan saja untuk membeli martabak dekat pengkolan. Saat arah pulang menuju rumah, saya lewat depan tukang loak itu lagi.

Pssttttt…  suara yang menjengkelkan itu lagi.

“Ada apa?”tanya saya lagi.

“Bawa saya pulang.”Itu adalah kata-kata pertama darinya selain suara psssttt yang menjengkelkan.

“Kenapa saya harus membawa kamu pulang?”

“Saya jenuh di tempat yang serba berbau oli kering ini. Bertemen dengan exhaust fan atau mesin ketik tua yang tombolnya sudah banyak yang hilang.”

“Kamar saya sudah penuh, tak ada lagi tempat untuk barang-barang baru.”Nada saya sedikit ketus.

“Akan aku ceritakan banyak cerita untukmu setiap malam.” Rayunya.
Saya sedikit tertarik.

“Cerita apa?” tanya saya heran.

“Cerita apa saja. Aku ini bukan penyemprot parfum ruangan sembarangan, buatan Jepang. Pernah berkeliling ke beberapa belahan dunia sebelum akhinya berakhir di sini.” Jawabnya panjang.

Entah karena saya terlalu ingin buru-buru pulang dan menikmati maertabak sebelum menjadi dingin atau mungkin karena tertarik dengan rayuan si penyemprot parfum ruangan, akhirnya dia berpindah tangan.

Sekarang dia menclok di dinding kamar, di bawah kipas angin. Setelah sebelumnya saya beli satu tabung pewangi aroma apel.

Tak terasa kopi yang saya siapkan untuk si gajah sudah tinggal setengah. Saya tengok jam yang dinding, hampir tengah malam tapi mata saya dan si gajah masih belum ngantuk, mungkin karena efek kopi yang kami minum.

Tiba-tiba ada suara pssstttt dari arah kanan. Saya dan gajah menengok...


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini