Langsung ke konten utama

Sepatu Coklat Tua

sumber: alifrafikhan.blogspot.com

Bukankah ini menyenangkan? Langit penuh jelaga, udara berbau mesiu dan tanah basah oleh darah. Serdadu mengaduh sendu, nafas di ujung leher, lupa akan doa-doa dan janji akhirat. Tuhan masih jauh. Tuhan masih jauh. Tuhan masih jauh.

Aku dorong-dorong gerobak yang berisi jasadku, di ujung tanjakan sebelum jalan bercabang menuju Maginot dan akhirat, kuparkirkan gerobak di sisi jalan yang sedikit berbatu. Sambil bersandar di roda gerobak yang kini tidak bulat utuh lagi, kurogoh saku kiri baju. Basah, di bagian ini ternyata aku tertembak, pantas saja aku meregang nyawa sebegitu cepat.

Foto keluarga; aku semasa hidup, istriku yang berambut warna tembaga tersenyum sambil memegang bahu si bungsu. Kabar mereka sekarang buram, seburam nasib bangsa ini. Si sulung yang berdiri di tengah, kudengar sudah mati di kamp konsentrasi. Tak ada yang perlu ditangisi. Ini perang. Hanya darah yang boleh tumpah, bukan air mata.

Di belakang kami, padang rumput yang luas dan rumah kecil berpagar putih yang kini sudah roboh, kembali menyatu dengan tanah setelah sepasukan Stuka tepat menyarangkan bom di tas loteng tempat dulu si sulung biasa menyepi saat membuat puisi. Ah, iya. Jika saja perang ini tidak terjadi, mungkin si sulung sudah menjadi seorang penyair besar seperti Rumi, Gibran atau Tagore, setidaknya, aku yakin, dia akan sehebat Camus. Tapi aku tidak pernah mau dia menjadi sekonyol Nietzsche.

Ini perang, saat ‘malaikat’ dan ‘iblis’ bergulat menunjukkan siapa yang lebih hebat di hadapan Tuhan, dan manusia hanya menjadi pion. Manusialah yang paling menderita tapi seolah tak diberi hak untuk mengungkapkan derita. Manusialah yang paling banyak kehilangan; sahabat pergi, keluarga mati, ternak dicuri, kekasih hilang di persimpangan konflik yang buram. Manusialah yang tertembak, tersayat, tergorok, hilang mata, hilang kaki, hilang tangan, hilang kepala, hilang nurani.

Ini perang, jadi -sementara- jangan dulu bicara tentang moral dan kemanusiaan. Orang yang paling banyak kehilangan kemanusiaan dan membuang jauh-jauh nurani adalah yang paling lama bertahan.
Bahkan kami yang dulu petani, golongan yang memeras keringat dan menghantamkan mata cangkul untuk berharap kasih dari rahim bumi pertiwi, kini harus menenteng senapan, melesakkan peluru ke dada orang-orang yang kami anggap tidak bersalah. Kami hanya petani, tidak pernah merasa ikut berperang, kami tidak merasa bersalah. Dan, aku yakin sebagian besar dari mereka juga petani, tidak pernah merasa ikut berperang, mereka tidak merasa bersalah. Lalu siapa yang bersalah? Siapa yang harus kami salahkan?

Biarlah, kami tuding takdir yang sudah melahirkan kami di zaman yang salah.
Bahkan saat kami mati, kami harus membopong mayat kami sendiri, menarik diri dari pertempuran yang sampai kapan pun tidak akan pernah kami menangkan.

Hari sudah sore, aku harus menarik gerobak yang berisi jasadku kembali, ke jalan bercabang antara Maginot dan akhirat.

Sialnya saat aku berdiri, aku tak menemukan jasadku di atas gerobak. Mungkin aku sedikit tertidur tadi dan sekumpulan anjing liar menarik jasadku ke rumpun semak lalu memamah sisa tubuhku yang masih bisa dimakan.

Biarlah, ini perang, area hingar bingar yang anehnya aku senidiri malah merasa sepi, tanpa keluarga, tanpa saudara, tanpa jasadku sendiri. Tuhan masih jauh. Tuhan masih jauh. Tuhan masih jauh.

                

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini