Langsung ke konten utama

Cerita (Manusia/ Gajah) kepada (Gajah/Manusia)

sumber: lena.multiper.com


Pagi ini aku bertemu dengan seekor gajah terbang, dia mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar dengan gadingnya yang panjang. Awalnya sempat heran juga, melihat mahkluk berwarna abu-abu sebuncit itu melayang-layang, tapi mengingat kalau aku berada di bumi -tempat berbagai hal aneh terjadi- rasanya itu menjadi tidak terlalu mengherankan.

Biar aku beritahu sedikit tentang bumi, khususnya wilayah tempat aku tinggal. Dua hari yang lalu warga heboh menemukan seorang bayi yang masih terlilit ari-ari nyusngsep di dalam selokan. Mati. Pasti dibuang orang tuanya. Tidak heran kalau kadang manusia bisa secara total hilang kemanusiaannya, padahal kata Keci, temanku yang seekor kecoa, melihat anaknya terinjak manusia atau megap-megap disemprot anti serangga, bisa bikin dia sedih sampai kehilangan nafsu makan berhari-hari.

Pernah juga, dua blok dari rumahku, ada seorang bapak yang menghamili anak gadisnya sendiri, warga kembali heboh selama berhari-hari, tapi setelah itu normal kembali. Aku sempat jadi bahan tertawaan Kedi yang seekor kucing dan Sebi yang seekor anjing. Mereka bilang manusia terlalu senang bikin peraturan yang macam-macam, bikin aturan perkawinan, tunangan, resepsi, KUA, penghulu dan segala tetek bengeknya dengan mengesampingkan naluri hewani dalam diri mansusia itu sendiri.

Mendengar pernyataan itu, sebagian sisi hewan dalm diriku setuju tapi sebagian sisi mansia dalam diriku sempat menolak. Jadi aku diam saja. 

Kubuka daun jendela setelah sebelumnya meminta gajah itu mundur beberapa langkah, suara decit engsel yang karatan karena sudah berbulan-bulang, mungkin tahunan, tidak  terbuka sempat membikin pekak telinga. Inilah pertama kalinya aku membuka jendela karena sebetlnya percuma juga mempunyai jendela di kota ini, terlebih di musim panas. Debu dengan senang hati akan bertamasya ke kamar lalu nemplok sekenanya di atas tumpukan buku, di permukaan kopi, bahkan di permukaan kalender yang licin sekalipun. Apalagi ada beberapa jenis manusia bar-bar yang suka kencing seenaknya, di mana saja mereka suka, membuka jendela berarti memasukan racun amoniak ke dalam kamar.

Setelah jendela terbuka kuminta gajah itu masuk, pertama memang sedikit sulit tapi setelah beberapa kali dia menahan nafas, akhirnya dia bisa masuk juga. Jangan tanyakan seperti apa prosesnya, ini bumi, tempat bag hal-hal mustahil terjadi.

Setelah masuk, tanpa minta ijin dulu, seenaknya gajah itu duduk di sofaku, tapi sebagai tuan rumah yang baik aku tidak mempersoalkan, aku malah menawari dia minum.

Dia minta teh, lucu juga mendengarnya, seekor gajah ingin minum teh. Dia berseloroh kalau sekali-kali ingin bergaya seperti manusia, karena sebagai gajah yang terbiasa hidup di hutan, selama ini dia cuma merasakan teh dengan menggasak daunnya mentah-mentah langsung dari pohon.

Alasannya cukup masuk akal, lalu kubuatkan dia teh, satu baskom, mengingat ukuran tubuhnya yang besar, mengingat ukuran perutnya yang buncit juga, makanya aku berikan dia teh pahit, aku takut gajah itu kena diabetes.

Hampir satu jam kami bercakap-cakap, ternyata seekor ajah di balik tubuhnya yang gendut dan matanya yang sipit, adalah hewan yang lucu juga. Dia bercerita betapa takutnya ia terhadap tikus dan perjalanan ke tempatku ini menjadi sebuah perjuangan berat karena beberapa kali dia berjumpa dengan tikus.

Atau pertemananya dengan seekor harimau. Dulu dia dan harimau adalah rival abadi di hutan, tapi belakangan mereka menjadi teman-teman karena perasaan senasib, menjadi hewan langka yang mungkin lima puluh tahun lagi mungkin hanya ada di buku ensiklopedia atau museum-museum saja.

Sedih juga aku mendnegarnya. Lalu kuceritakan dengan sedikit memberinya pengertian kalau secara teori evolusi manusia adalah pemenangnya. Manusia menang dalam evolusi dan sebagai pemenang, manusia berhak atas seluruh isi bumi. Karena keberhakan manusia inilah, maka kami juga sah-sah saja untuk menjadi tiran, membantai, membunuh, memotong, membakar, menumbangan dan memakai apa pun yang ada di bumi. Angaplah itu semua sebagai hadiah atas kemenangan kami.

Mendengar kata-kata itu si gajah merasa sedikit tertekan tapi berangsur-angsur paham jika sebenarnya, semua mahkluk di dunia, terkecuali manusia, hanyalah pemeran figuran di atas panggung dunia, mereka bisa hadir dan pergi tergantung kebutuhan manuisa sebagai pemeran utamanya.

Hampir dua jam kami bercakap-cakap, lalu gajah meminta perban dan obat merah untuk mengobati luka di kaki belakangnya. Ada luka menganga dengan darah masih merembes satu dua. Kubantu gajah membalut lukanya.

Dia bilang itu karena dia tidak hati-hati dan terkena jerat manusia. Tapi dia tidak marah karena sudah paham dengan perannya sekarang, setelah kujelaskan tadi.

Teh sudah habis, luka sudah diperban, si gajah ijin pulang.

Aku kembali diserang rasa kantuk karena tidur yang belum lengkap tadi.

Entah berapa lama aku tertidur, yang pasti saat terbangun tubuhku ngilu-ngilu dan kakiku perih. Saat aku lihat ternyata kakiku terikat rantai. Kulit abu-abuku yang pucat berdebu dan belepotan lumpur. Hujan, di tengah hutan.

Aku sadar sekarang, kalau aku hanyalah seekor gajah, seekor gajah yang naif karena berani bermimpi menjadi manusia. Tapi aku suka dengan mimpi itu. 

Biarlah, aku mau tidur lagi.

Komentar

  1. Gajah bertamu gajah yang pura-pura jadi manusia, ah pusing... Haha... Out of the book bingitlah Uncle....

    BalasHapus
  2. Kira-kira seperti itulah kalau saya diminta untuk menulis secara bebas, suka awut-awutan ceritanya 😀

    BalasHapus
  3. Benar-benar bebas.

    Mm... Uncle memang pengen punya cita-cita se-endut gajah, yaa?

    BalasHapus
  4. Absurd, tapi typo nya gak nahan ahahaha

    BalasHapus
  5. Keren uncleee, imajinasinya wowwww 😍

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini