Satu kata
yang terlintas dalam kepala saya saat selesai membaca tulisan ini,’padat’.
Penulis
menyajikan sebuah alur dengan sangat baik, menembak langsung ke arah konflik
yang membuat pembaca seketika merasa masuk ke dalam cerita sekaligus merasa
peanasaran dengan masalah yang dialami tokoh.
Paragraf
pembuka, “Hening malam membuat suara tubuhku yang berdebam terdengar jelas.
Semoga saja ini tidak memancing orang-orang untuk keluar rumah dan menuju
sumber suara. Semoga saja lelap tidur mereka hingga suara sekeras apapun tidak
mampu mengusik.” Terasa cukup kuat untuk mewakili suasana awal. Pembaca
tergiring pada dua kemungkinan, tokoh adalah maling atau bisa juga orang yang
mencoba melarikan diri.
Selanjutnya,
siapa yang menyangka jika tokoh yang diceritakan adalah seorang istri yang saya
rasa bekerja sampingan sebagai ‘wanita panggilan’. Kesan itu terasa dari
beberapa petunjuk yang diberikan penulis seperti, ”Ibu jari kanannya menghapus
warna merah menggoda yang tertempel di bibirku….””…Rok miniku yang
tersobek…””Kamulah kehormatanku, apapun alasanmu…” dengan sangat jelas bisa
kita rasakan.
Semakin
jauh kita membaca tulisan ini, kita akan digiring dengan konflik yang semakin
mengerucut pada sebuah kesimpulan, seorang wanita yang sudah tidak sanggup lagi
menahan beban ekonomi karena bersuamikan lelaki miskin dan hendak melarikan
diri tapi -sekali lagi- ketahuan dan dipaksa pulang.
Dalam kasus
ini, saya tidak akan memotret sisi hitam atau putih dalam sebuah karya yang
disajikan, karena fungsi utama sastra bukanlah menghakimi atau men-cap seorang
tokoh jahat atau baik. Sastra hanya bertugas memotret kehidupan dan
menyajikannya secara jujur dalam sebuah cerita yang beralur. Tokoh lelaki dalam
cerita ini bagi saya adalah protagonis (berusaha menyelamatkan istrinya dari
kesalahan) dan tokoh istri pun bagi saya tetap protagonis (berusaha merubah
keadaan, terlepas dari caranya). Inilah sisi sastra sekaligus cara penyajian
dari Ciani Limaran yang saya sukai, tidak berusaha menghakimi tokoh and let
the readers decide.
Selanjutnya,
bila sampai sejauh ini baik-baik saja, apakah karya ini sudah sempurna?
Jawabannya belum. Ada satu bagian -terlepas dari penyajian secara EBI, unsur
gramatikal dan lain-lain- pada kalimat “Kerlip bintang bertebaran di langit
malam yang semakin kelam…”
Bagian ini
terasa sedikit ganjil bila kita rasakan baik-baik (ingat kembali salah satu
fungsi sastra sebagai media penyampai rasa). Kenapa ganjil? Karena hampir
seluruh bagian dari tulisan ini
disajikan secara prosa (ingat, prosa berarti terang-terangan, lugas, tak
bersayap) pada bagian ini penulis menyajikan sebuah frase yang terasa liris.
Apakah salah? Tidak. Apakah menjadikan pembaca kurang nyaman? Iya.
Kekurangan
(baiklah kata kekurangan ini sedikit kasar, tapi saya sulit menemukan kata pengganti
yang lain) biasanya dialami oleh penulis yang biasa melompat-lompat antara
prosa (cerpen, novel, artikel, dan lain lain) dengan liris (puisi, sajak, prosa
liris dan lain-lain).
Tapi
terlepas dari semuanya, saya rasa ini sangat bagus dan layak untuk dibaca.
BalasHapusBagian ini terasa sedikit ganjil bila kita rasakan baik-baik (ingat kembali salah satu fungsi sastra sebagai media penyampai rasa). Kenapa ganjil? Karena hampir seluruh bagian dari tulisan ini disajikan secara prosa (ingat, prosa berarti terang-terangan, lugas, tak bersayap) pada bagian ini penulis menyajikan sebuah frase yang terasa liris. Apakah salah? Tidak. Apakah menjadikan pembaca kurang nyaman? Iya.
Apakah maksudnya bagian ini, jika kita menceritakan tulisan dalam sebuah prosa, maka tidak perlu sisipkan frase liris, karena justru akan terasa tidak nyambung atau terasa hiperbola (eh bener tak ya istilahnya)....atau kembali lagi bagaimana penulis nya menyisipkan frase liris itu sendiri uncle?
Mohon penjelasannya dong..
Idealnya jangan dicampur karena akan menimbulkan kesan yang baur dalam benak pembaca. Silakan bayangkan kalau Raditya Dika di bagian tengah bukunya menyisipkan gaya bercerita seperti Khalil Gibran, akan seperti apa tanggapan pembaca?
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuswuiiihhh....mantap .... terima kasih banyak uncle... memang saya masih harus banyak belajar.
BalasHapusmasih suka "seenaknya".
kalau prosa itunlugas, terang-terangan dan tidak bersayap... apa bedanya dengan prosa liris? (ada kata prosanya 🙈🙈)
BalasHapus#bingung
#pertanyaan awam