Langsung ke konten utama

Review Tulisan “Biar Aku yang Berjuang” Karya Ciani Limaran

Satu kata yang terlintas dalam kepala saya saat selesai membaca tulisan ini,’padat’.

Penulis menyajikan sebuah alur dengan sangat baik, menembak langsung ke arah konflik yang membuat pembaca seketika merasa masuk ke dalam cerita sekaligus merasa peanasaran dengan masalah yang dialami tokoh.

Paragraf pembuka, “Hening malam membuat suara tubuhku yang berdebam terdengar jelas. Semoga saja ini tidak memancing orang-orang untuk keluar rumah dan menuju sumber suara. Semoga saja lelap tidur mereka hingga suara sekeras apapun tidak mampu mengusik.” Terasa cukup kuat untuk mewakili suasana awal. Pembaca tergiring pada dua kemungkinan, tokoh adalah maling atau bisa juga orang yang mencoba melarikan diri.

Selanjutnya, siapa yang menyangka jika tokoh yang diceritakan adalah seorang istri yang saya rasa bekerja sampingan sebagai ‘wanita panggilan’. Kesan itu terasa dari beberapa petunjuk yang diberikan penulis seperti, ”Ibu jari kanannya menghapus warna merah menggoda yang tertempel di bibirku….””…Rok miniku yang tersobek…””Kamulah kehormatanku, apapun alasanmu…” dengan sangat jelas bisa kita rasakan.

Semakin jauh kita membaca tulisan ini, kita akan digiring dengan konflik yang semakin mengerucut pada sebuah kesimpulan, seorang wanita yang sudah tidak sanggup lagi menahan beban ekonomi karena bersuamikan lelaki miskin dan hendak melarikan diri tapi -sekali lagi- ketahuan dan dipaksa pulang.

Dalam kasus ini, saya tidak akan memotret sisi hitam atau putih dalam sebuah karya yang disajikan, karena fungsi utama sastra bukanlah menghakimi atau men-cap seorang tokoh jahat atau baik. Sastra hanya bertugas memotret kehidupan dan menyajikannya secara jujur dalam sebuah cerita yang beralur. Tokoh lelaki dalam cerita ini bagi saya adalah protagonis (berusaha menyelamatkan istrinya dari kesalahan) dan tokoh istri pun bagi saya tetap protagonis (berusaha merubah keadaan, terlepas dari caranya). Inilah sisi sastra sekaligus cara penyajian dari Ciani Limaran yang saya sukai, tidak berusaha menghakimi tokoh and let the readers decide.

Selanjutnya, bila sampai sejauh ini baik-baik saja, apakah karya ini sudah sempurna? Jawabannya belum. Ada satu bagian -terlepas dari penyajian secara EBI, unsur gramatikal dan lain-lain- pada kalimat “Kerlip bintang bertebaran di langit malam yang semakin kelam…”

Bagian ini terasa sedikit ganjil bila kita rasakan baik-baik (ingat kembali salah satu fungsi sastra sebagai media penyampai rasa). Kenapa ganjil? Karena hampir seluruh  bagian dari tulisan ini disajikan secara prosa (ingat, prosa berarti terang-terangan, lugas, tak bersayap) pada bagian ini penulis menyajikan sebuah frase yang terasa liris. Apakah salah? Tidak. Apakah menjadikan pembaca kurang nyaman? Iya.

Kekurangan (baiklah kata kekurangan ini sedikit kasar, tapi saya sulit menemukan kata pengganti yang lain) biasanya dialami oleh penulis yang biasa melompat-lompat antara prosa (cerpen, novel, artikel, dan lain lain) dengan liris (puisi, sajak, prosa liris dan lain-lain).


Tapi terlepas dari semuanya, saya rasa ini sangat bagus dan layak untuk dibaca.    

Komentar


  1. Bagian ini terasa sedikit ganjil bila kita rasakan baik-baik (ingat kembali salah satu fungsi sastra sebagai media penyampai rasa). Kenapa ganjil? Karena hampir seluruh bagian dari tulisan ini disajikan secara prosa (ingat, prosa berarti terang-terangan, lugas, tak bersayap) pada bagian ini penulis menyajikan sebuah frase yang terasa liris. Apakah salah? Tidak. Apakah menjadikan pembaca kurang nyaman? Iya.


    Apakah maksudnya bagian ini, jika kita menceritakan tulisan dalam sebuah prosa, maka tidak perlu sisipkan frase liris, karena justru akan terasa tidak nyambung atau terasa hiperbola (eh bener tak ya istilahnya)....atau kembali lagi bagaimana penulis nya menyisipkan frase liris itu sendiri uncle?

    Mohon penjelasannya dong..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Idealnya jangan dicampur karena akan menimbulkan kesan yang baur dalam benak pembaca. Silakan bayangkan kalau Raditya Dika di bagian tengah bukunya menyisipkan gaya bercerita seperti Khalil Gibran, akan seperti apa tanggapan pembaca?

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. wuiiihhh....mantap .... terima kasih banyak uncle... memang saya masih harus banyak belajar.

    masih suka "seenaknya".

    BalasHapus
  4. kalau prosa itunlugas, terang-terangan dan tidak bersayap... apa bedanya dengan prosa liris? (ada kata prosanya 🙈🙈)

    #bingung
    #pertanyaan awam

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini