Langsung ke konten utama

Trayek Baru

sumber: mydirtsheet.com
Trayek hidupku sudah jelas selama lebih dari sepuluh tahun ini. Jam tiga pagi, sebelum ayam-ayam tetangga di kandangnya bangun, aku sudah harus mandi, bukan untuk membersihkan tubuhku yang bau keringat karena tidur di dalam kamar pengap semalaman, tapi lebih untuk menyegarkan tubuhku, terutama mataku yang setiap hari tampaknya semakin kelelahan karena hanya diberi jatah untuk tidur tidak lebih dari lima jam.

Setelah mandi dan mematut diri ala kadarnya di depan cermin yang sudah mulai buram, aku pergi ke pasar yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumhaku. Bukan rumah, kurang layak sepertinya jika disebut rumah. Kata orang-orang pintar, rumah itu harus punya kamar mandi, kamar tidur, ruang tamu, dapur, nomor dan yang paling utama harus punya surat yang menerangkan kalau itu adalah rumah sehingga pemerintah bisa menagih jatahnya setiap tahun agar ‘rumah’ itu bisa tetap disebut rumah.

Sedangkan tempat yang aku tinggali -memang- hampir memiliki semuanya; kamar tidur, dapur, ruang tamu dan kamar mandi. Ajaibnya semua berada dalam satu ruangan. Kompor dan meja tempat aku menaruh termos ada di ujung dipan tempatku biasa tidur, di sampingnya ada kamar mandi. Semuanya menyatu dalam satu ruangan, jadi jangan heran-heran kalau ‘rumahku’ itu baunya bisa macam-macam. Bau telur goreng dan kopi yang baru saja diseduh bercampur dengan bau sabun atau kadang-kadang bau selokan kamar mandi yang mampet.

Itulah ‘rumahku’ kalau tetap memaksa mau disebut sebagai rumah. Tapi jangan pernah menanyakan tentang surat keterangan. Dari semenjak aku proklamasikan tempat itu sebagai ‘rumah’aku tak pernah sedikit pun tahu kalau rumah harus punya surat supaya bisa disebut ‘rumah’ karena sejak awal aku sudah menyebut tempat itu rumah, otomatis teman-temanku juga menyebut tempat itu rumah, tetanggaku yang memiliki ayam-ayam d kandang juga menyebutnya rumah, saudaraku yang kadang datang dari jauh juga menyebutnya rumah. Hanya pemerintah saja yang tidak mau mengakui tempat itu sebagai rumah, tapi biarkan saja, kata temanku yang pintar, pemerintah itu suka berganti setiap lima tahun, kadang sepuluh tahun, tapi kadang-kadang juga tidak sampai lima tahun.

Semoga saja pemerintah yang nanti berkenan menyebut rumahku sebagai ‘rumah’.

Di pasar, jam tiga pagi sudah mulai ramai. Truk-truk sayur bongkar muat, kangkung, kelapa, ubi, singkong dan cabai diturunkan dari truk lalu di bawa oleh orang-orang sepertiku ke sebuah tempat penampungan yang katanya milik seorang juragan yang entahlah sampai sekarang aku sendiri belum pernah melihat wajahnya secara langsung. Dia mempercayakan tempat penampungan ini pada seorang tukang tulis yang sepanjang waktu kerjanya hanya berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk. Pernah beberapa kali aku didampratnya sambil sumpah serapah melucur mulus dari mulutnya seolah-olah dia sudah hafal betul dengan jenis makian. Misalnya, aku pernah salah, menumpuk kangkung yang masih basah di atas tumpukan cabai.

Lalu datatanglah orang ini, dengan kertas dan bolpoin di tangan kiri, tangan kanannya menunjuk ke arahku, bibirnya mengerucut, semakin lama kerucutannya makin dalam… makan dalam… dan…

“Dasar goblok, tidak pernah makan bangku sekolahan, kangkung basah bisa bikin cabe busuk. Kalau tidak bisa kerja keluar saja. PINDAHKANNNN!!!!”

Lalu aku buru-buru beringsut, mengangkat tumpukan kangkung basah ke tempat lain.

Seperti itulah hidupku selama sepuluh tahun terakhir. Setelah selesai semua pekerjaan di atas, aku pulang. Menyeduh kopi dan bersiap-siap menjalani profesi siangku; menjadi kondektur bus.
Sudah lebih dari sepuluh tahun aku menjalani dua profesi seperti ini, kata temanku yang pintar, jika seseorang sudah menjalani sebuah profesi lebih dari sepuluh tahun, itu akan menjadi profesi seumur hidupnya. Tidak masalah untukku yang tidak mempunyai pilihan lain, tanpa ijazah SD dan kemampuan membaca dan tulis ala kadarnya, bagiku ini profesi yang cukup menjanjikan.

Akan kuceritakan tentang Marni, gadis yang sudah aku pacari selama dua tahun terakhir, Marni adalah seorang perawat di sebuah klinik. Bagaiamana bisa seorang kuli panggul di pasar yang merangkap profesi sebagai kondektur bus berpacaran dengan seorang perawat di klinik? Terlalu panjang untuk diceritakan, tapi setidaknya aku harus berterima kasih pada seorang remaja yang naik motor matic secara ugal-ugalan, jika bukan karena motor matic dengan suara knalpot yang kebesarannya itu yang menyerempetku di dekat perempatan, mungkin aku tidak akan pernah bertemu dengan Marni. Kadang, saat aku iseng istirahat di warung pinggir jalan, aku merenung, ternyata Tuhan selalu punya cara unik dalam menyusun takdir manusia. Tidak, tidak, bukan hanya manusia, tapi semua yang ada di semesta.

Ada yang mengganjal, orang tua Marni tidak suka padaku, benci malah tampaknya. Aku maklum, anak gadisnya yang hampir sepanjang hidup dia rawat, dia jaga baik-baik, memberinya makan dengan makanan terbaik dan memberinya pendidikan terbagus yang dia mampu, sekarang berpacaran denganku, seorang kuli panggul sekaligus kondektur bus yang kadang menuliskan namaku sendiri sering kurang satu atau dua huruf.

Tapi aku selalu ingat pesan almarhum bapakku seelum beliau meninggal terkena TBC, katanya aku harus selalu berlaku hormat pada siapapun yang layak aku hormati; tukang tulis yang sering memaki-makiku di pasar, aku menghormati dia karena seminggu sekali dia memberiku jatah uang makan; Bang Anto, supir bus, aku menghormati dia karena sudah kuanggap saudara sendiri; ayam-ayam tetangga di kandang, aku menghormati mereka karena kadang-kadang, jika dalam kondisi kurang sehat aku bangun terlambat dan merekalah yang membangunkanku; orang tua Marni, aku menghormati mereka, karena aku mencintai anaknya, dan lagi aku juga menganggap mereka seperti orang tuaku sendiri. Makanya, seburuk dan semenyakitkan apa pun perkataan mereka padaku, aku menganggapnya sebagai nasihat orang tua pada anaknya, aku menghormati mereka.

Pagi itu, setelah selesai bertugas di pasar, aku pulang dengan tubuh yang kelelahan dan bau keringat. Marni dan ayahnya sudah ada di depan pintu rumahku. Aku percepat jalanku hendak menyambut mereka, sesuai kebiasaan pada orang yang aku hormati, aku mencium tangan ayah Marni. Berbeda, ada sedikit perbedaan yang aku rasakan. Kali ini ayah Marni tidak berusaha menolak apalagi menarik tangannya.

Kami bertiga berdiri dalam diam untuk beberapa saat. Aku merasa canggung, tidak tahu apa yang harus diucapkan.

Marni tersenyum, ayah Marni juga tersenyum. Sesederhana itu saja. Tak perlu ada ucapan apa-apa, restu mengalir tiba-tiba, rasa hormat bisa meruntuhkan segalanya.

Ayam-ayam tetangga tiba-tiba ribut bukan main dan berkokok bersahut-sahutan.

Di detik itu, trayek hidupku berubah.

Komentar

  1. Tulisan ini pasti luar biasa. Buktinya, saya gak paham, seperti saya sering lola baca cerpen di buku-bukunya orang yang terkenal. Woow

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak luar biasa juga sih, tapi emang nulisnya ngasal aja, makanya bikin pembaca bingung, ahahahahha

      Hapus
  2. Tulisan ini pasti luar biasa. Buktinya, saya gak paham, seperti saya sering lola baca cerpen di buku-bukunya orang yang terkenal. Woow

    BalasHapus
  3. Nulisnya yang sederhana ajah, UncleπŸ˜–

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baiklah, maaf maaf πŸ™‡πŸ™‡πŸ™‡

      Hapus
  4. Ini gaya tulisannya agak agak...
    πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€

    Perlu baca ulang, biar bisa nangkep pesan siningitnya apa..
    πŸ˜‰πŸ˜‰

    BalasHapus
  5. idih ... masak gitu, endingnya? Hu ....
    .
    mitos ayam jam segitu ribut, mang di jakarta hidup juga?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini