Langsung ke konten utama

ndsgdjk#%%%GJHJH^&&jhkk^*&(*))bkLJKK&(*)()(__

sumber: topilambe.com
Siapa yang masih tertipu dengan bintang? Pasti semua masih, ya?

Coba tengadah malam-malam kalau langit sedang tidak mendung, ada ribuan jumlahnya, bukan, puluhan ribu, eh, malah mungkin jutaan. Indah? Tidak, merusak pemandangan malah, mirip ketombe yang berarakan merusak indahnya ‘rambut’ malam yang pekat.

Tapi aku tak mau bercerita lebih jauh tentang ‘ketombe’ itu? Ada yang lebih menarik yang mau aku ceritakan, masih berhubungan dengan ‘ketombe’ juga sih. Cerita ini tentang takdir.

Keren, ya. Jadi kejadian ini terjadi saat aku tidak sengaja tengadah malam-malam waktu mengangkat jemuran di balkon kontrakanku.

Entah karena aku yang sudah mengantuk atau karena  memang malam itu aku ketiban ‘jatah’ untuk mendapatkan ‘pencerahan’.

Tiba-tiba saja ‘ketombe-ketombe’ langit itu menyatu, menjadi besar, sebesar matahari, mungkin lebih, malam jadi terang, lalu ‘ketombe-ketombe’ itu meledak. Salah satu berkas cahayanya membentur keningku, dan sebuah ilham itu masuk begitu saja ke dalam benak. Memunculkan sebuah pemahaman baru tentang takdir.

Keren ya, persoalan mengangkat jemuran malam-malam bisa sampai membuatku paham tentang perkara takdir.

Baiklah, karena Kalian sudah tahu tentang rahasiaku, akan langsung aku jelaskan saja tentang takdir ini. Siapkan diri Kalian baik-baik.

Takdir itu adalah jhdndfdullhsg2wwtgwgsosb,d;dl;d;ldmxbjdfdsbdghyhdkdlsd;jdhdndvhj….

Paham, kan maksudku? Seperti itulah takdir.

Belum paham juga, sebentar, akan aku bisikan saja agar lebih jelas.

Takdir itu adalah jdjdj6dbdldkmd8mjdlkd**jhsdkdksgsk,;dkk//??>hdjhdsbngsj…

Bagaiamana? Sekarang sudah mulai jelas?

Masih belum?

Susah juga ya ternyata menjelaskan tentang takdir. Padahal malam itu aku bisa langsung memahami semuanya hanya dalam hitungan detik. Ahahahahaha, jangan-jangan Kalian bodoh. Menulis cerita ini membuatku paham satu hal lagi, aku bisa mengata-ngatai orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang memiliki jabatan strategis, yang punya pengaruh besar di masyarakat dengan sebutan bodoh, tapi aku tidak berlebihan, aku bisa langsung memahami takdir hanya dalam hitungan detik, sementara Kalian… berpuluh-puluh kalimat aku tuliskan, sampai pegal jariku mengetik masih belum paham juga, padahal IP-ku tidak sampai satu koma …

Baiklah, aku minta maaf, akan aku jelaskan sekali lagi tentang takdir ini.

Takdir itu ibarat seekor kecoa terbang. Sesederhana itu saja, pernah melihat kecoa terbang? Jangan bilang tidak, karena tulisan ini aku tujukan untuk orang-orang yang tinggal di bumi, bukan penduduk bulan, planet Mars apalagi mereka yang tinggal di Saturnus yang pasti tidak pernah melihat kecoa terbang.

Yang paling unik dengan kecoa terbang, yang kebetulan kali ini aku analogikan dengan takdir supaya Kalian bisa lebih mudah memahami adalah, pertama, kecoa terbang pernah membuat para ilmuwan dan ahli aerodinamika pusing tujuh keliling dan membuka kembali catatan kuliah mereka karena arah dan gerakan terbangnya yang unik dan tidak terduga, kedua, para tukang ramal, ahli sihir, tukang tenung dibuat geleng-geleng kepala sebab tidak bisa memprediksikan ke arah mana kecoa akan terbang.

Paham, kan?

Jelas, ya?

Takdir sama dengan kecoa terbang, unik, tidak terduga dan gaib. Jadi jangan percaya kalau suatu saat membaca buku Stephen Wofram yang berjudul Cellular Automata yang digadang-gadang bisa menebak pola kerja alam dengan serangkaian gambar pola dan formula yang rumit itu. Membaca pola kerja alam, membaca takdir, pretttttt… prediksi dulu arah kecoa terbang.

Atau Kalian yang sering memprediksi ‘hoki’ tiap pekan lewat ramalan bintang di majalah. Ingat ramalan bintang sama saja dengan ramalan ‘ketombe’, masih mau memprediksi nasib baik lewat ketombe?

Apalagi tukang ramal dan krono-kroninya, mereka tidak lebih dari tukang tipu, kalau mereka memang sebegitu hebatnnya meramalkan masa depan, coba tanyakan berapa butir nasi yang akan mereka makan nanti malam?

Kesimpulannya, takdir yang bagai kecoa terbang ini gaib. Tidak bisa diprediksi, hanya Tuhan yang tahu, sedangkan saya yang mengaku-ngaku mengetahui takdir ini, sudah secara mentah-mentah menipu Anda semua dan mengajak untuk merenungi takdir yang tersisa untuk kita.

Sekian.

Itu saja.


Komentar

  1. Woooww..kecoak terbang? Kejar pake sapu lidi uncle...😂

    BalasHapus
  2. Waaaw seren uncle mainannya kecoa... Hahaha

    BalasHapus
  3. wow... semalem ketiban kecoa terbang aja bisa jadi tulisan keceh. uncle emg selalu keren, ahahahaha.

    BalasHapus
  4. Kecoa terbang? Pasti ini cucunya kecoa ngesot ya Uncle? Ha8x... 😂😂😂😂😂

    BalasHapus
  5. Kenapa saya harus ditakdirkan baca ndsgdjk#%%%GJHJH^&&jhkk^*&(*))bkLJKK&(*)()(__ ?

    BalasHapus
  6. Kenapa saya harus ditakdirkan baca ndsgdjk#%%%GJHJH^&&jhkk^*&(*))bkLJKK&(*)()(__ ?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini