Langsung ke konten utama

Review Cerpen “Cerita Pilu Seorang Gadis yang Tinggal di Kaki Gunung” Karya Sri Wahyuni

Sebuah karya dengan awalan yang luar biasa, deskripsi ruang disajikan secara bergerak. Ini sangat kuat, karena bisa mengajak pembaca untuk ikut masuk dan merasakan suasana dalam cerita (Dan Brown dan Andrea Hirata sering sekali menggunakan metode deskripsi seperti ini). Lalu kita diajak mengenal satu persatu bagian wilayah ini, sekaligus suasana di sekitarnya. Namun, sayang sekali beberapa bagian yang diceritakan di bagian awal hanya berfungsi sebagai penghias karena pada bagian selanjutnya tidak memiliki keterkaitan dengan sama sekali.

Pada bagian tengah kita akan diajak berkenalan dengan tokoh sentral dalam cerita ini, seorang gadis remaja berusia sekitar dua puluh tahun yang memiliki ‘kelainan’mendekati gila. Yang selalu berdiri di halaman rumahnya dan tersenyum pada setiap orang yang melintas.

Bagian tengah ini cukup menarik karena menyajikan sebuah fenomena yang unik dan jarang ditemui dalam kebanyakan cerita.

Tapi sayangnya, sekali lagi, penulis tidak mengeksekusi bagian ini dengan sempurna. Cerpen ini hampir tanpa ending yang memuaskan. Andai saja di bagian akhir di plot secara twist, saya yakin cerita ini akan menjadi sangat luar biasa.

Kesalahan lain yang cukup terasa adalah inkonsistensi dalam penulisan, pada bagian “Ada hal lebih ngeri yang ingin kuceritakan padamu, Kawan. Tentang sesuatu yang pasti membuat Kau berpikir…” perhatikan kata yang saya garis bawahi. Sebetulnya al seperti ini tdak perlu terjadi, tapi tetap saja masih sering terjadi pada sebagian besar penulis, termasuk saya. Sebabnya, karena tidak membaca dan mengedit ulang sebuah karya yang sudah dihasilkan.


Tapi saya teringat sesuatu, karya ini ditulis untuk melengkapi sebuah tugas yang mengedepankan penguatan pada paragraf awal yang menarik (kebetulan yang memberi tugas adalah saya sendiri), jadi kesimpulannya, karya ini sudah cukup luar biasa untuk memancing pembaca masuk ke dalam cerita pada bagian awal, tapi memiliki kelemahan pada bagian akhir yang dirasa masih mengambang dan kurang klimaks.

Komentar

  1. Uncle mau dong direview juga.. hahaha btw back linknya mana ya? Jadi pengen baca cerpennya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Inshaa Allah kalau waktu memungkinkan saya review satu persatu.
      Untuk linknya silakan cek di grup fiksi ODOP atas nama Shree

      Hapus

  2. jadi kesimpulannya, karya ini sudah cukup luar biasa untuk memancing pembaca masuk ke dalam cerita pada bagian awal, tapi memiliki kelemahan pada bagian akhir yang dirasa masih mengambang dan kurang klimaks.

    Apakah ini berarti, jika kita bisa menyajikan awalan paragraph yang sempurna (dapat memancing pembaca untuk masuk ke cerita), meskipun kelanjutan cerita kurang menarik maka kemungkinan besar pembaca akan tetap menyelesaikan bacaannya hingga akhir? Atau bagaimana?

    Hehehe...maaf panjang...😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasanya akan membaca sampai akhir, tapi jika berkali-kali melakukan pola yang sama, jangan harap pembaca mau membaca karya kita lagi

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Perut

Sumber: www.satriawiranah.wordpress.com “Ini apa?”  “Pisang.” “Seperti apa teksturnya?” “Lembut, seperti mentega?” “Lalu seperti apa rasanya?” “Manis, seperti gula.” “Jadi jika saya campurkan mentega dan gula akan tercipta pisang?” “Tidak, Kawan. Tidak sesederhana itu.” Lalu saya lemprakan satu tandan pisang ke wajah teman saya itu, mengambil satu buah, mengupasnya, dan saya makan. Itulah awal perkenalan saya dengan filsafat. Sebuah cabang ilmu yang dianggap menempati kasta paling tinggi, jauh di atas Matematika apalagi Bahasa. Sebuah ilmu yang bagi saya sangat tidak praktis. Bermain-main dengan paradoks. Uniknya, orang-orang yang banyak bergelut dengan filsafat malah dianggap orang yang tercerahkan. Orang yang menguasai hakikat. Filsafat hampir tidak mungkin tersentuh bagi orang-orang kasar seperti saya, bagi petani yang setiap hari hanya mengenal tanah dan cangkul atau bagi nelayan yang setiap hari sibuk dengan jala dan ombak. Ba

Igau

Kataku suatu ketika, "Rindu itu letih, liar, kejam tapi tak sekuat maut. Ia tak pernah bisa dituntaskan, pun dengan sebuah pertemuan, karena sejatinya rindu itu seperti biji semangka yang kau tanam dalam hati, mengakar dan sulurnya membelit perasaan." Tapi apa mau dikata, walau tak kan pernah tuntas tapi kini aku terbang pagi buta naik garuda rindu menembus mega-mega. Naik ke langit dan menyaksikan Kapuas yang liar membelit tanahmu. "Sekejap lagi," bisikku pada jendela sempit temanku yang menemani sepagian ini. Dalam bayanganku aku berkhayal, pesawat yang kutumpangi mendarat di atas sebuah menara keemasan, Tower of Babel, tangga yang membuat Tuhan murka dan mengutuk manusia dengan rupa-rupa bahasa. Jujur saja, aku butuh bahasa itu sekarang, bahasa yang selalu gagal diucapkan manusia, bahasa yang bisa merangkum semua perasaan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah bahasa rindu yang tidak cengeng, bahasa pengunkap kesedihan dan kesepian tanpa harus menerbitkan air mata

Dia Datang

 sebuah plot twist dari tragedi Romeo dan Juliet “Ah, kau rupanya,” sapanya saat aku baru saja tiba di depan pintu rumahnya “kau pemuda yang kemarin mati di persimpangan itu kan?” tanyanya. Aku hanya diam. Bagiku, kemarin, hari ini, besok atau seribu tahun lagi tidak ada beda. Dia menepuk kursi di sampingnya, bagai terhipnotis aku mendekat dan duduk di kursi yang tadi dia tepuk. Setelah menyeruput kopi yang tinggal ampas itu, dia menoleh ke arahku. Memandangku tpat di mata. “Ada perlu apa pagi-pagi kau sudah datang ke sini?” tanyanya lagi dengan tetap menatap lurus ke arahku. Selama beberapa saat kami diam. Jujur saja, aku tak tahu siapa lelaki yang pagi ini aku sambangi rumahnya, alasan aku mendatanginya pun aku tak tahu, bahkan aku tidak tahu siapa diriku. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa seperti selamanya itu, dia mengangkat punggungnya, bersandar, lalu menarik napas dalam-dalam. “Nona, kalau kau mau tahu tentang siapa diri kau, salahlah kau datang ke rumah ini